Salah satu ciri dan keutamaan ilmu agama adalah menghidupkan. Sebagaimana yang Allah sebutkan dalam al-Qur’an,
“Dan apakah orang yang tadinya mati kemudian Kami hidupkan dia dan Kami berikan kepadanya cahaya, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” [QS. al-An’am: 122]
Ayat ini ditafsirkan oleh Syeikh Abdurrahman Nashir As Sa’di rahimahullah dengan berkata: “Apakah orang yang sebelumnya tidak diberi hidayah Allah, (seakan) mati dalam kegelapan kekufuran, kebodohan, dan maksiat lalu Kami (Allah) hidupkan orang itu dengan cahaya ilmu, keimanan, dan ketaatan kemudian ia menjadi orang yang berjalan di tengah manusia dalam cahaya yang menerangi urusan-urusannya, dalam keadaan diberi petunjuk di atas jalannya. Mengenal dan mengutamakan kebaikan, bersungguh-sungguh mempraktekannya pada dirinya dan orang lain. Mengenal keburukan dan benci dengan keburukan tersebut. Dia tinggalkan dan ia semangat dalam menghilangkan keburukan itu dari dirinya dan orang lain. Apakah orang seperti ini sama dengan orang yang berada dalam kegelapan ?
Gelapnya kebodohan, melampaui batas, kekufuran, dan gelapnya maksiat” [Taisirul Karimir Rahman: 272]
Demikian kondisi orang-orang yang dijauhkan dan menjauhi ilmu agama. Mengenaskan, menyedihkan, dan dipenuhi dengan kegelapan yang mengarah kepada kematian sebelum mereka mati. Ini berbeda dengan orang-orang yang Allah mudahkan meraih, memahami, dan mengamalkan ilmu agama. Mereka berada dalam indahnya kehidupan dengan terangnya jalan yang mereka tempuh.
Berkata Imam Ibnul Qayyim rahimahullah,
وَالْجَاهِلُ فِيْ حَيَاتِهِ حَيٌّ وَهُوَ مَيِّتٌ بَيْنَ النَّاس
“Orang berilmu setelah meninggalnya maka ia akan menjadi mayat, namun ia tetap hidup di tengah-tengah manusia..
Sedangkan orang tak punya ilmu, walau ia hidup tapi ia seperti orang yang telah mati di tengah manusia” [Miftah Dar Assa’adah: 1/137]
Demikianlah orang berilmu, walau ia telah tiada namun manusia selalu menyebut namanya, mengenangnya, mendo’akannya, dan ilmunya masih eksis di tengah manusia, menyebar dan berjalan dari satu lisan ke lisan lainnya. Dari satu generasi ke genersi berikutnya sampai datangnya hari kiamat.
Namun orang yang jauh dari ilmu, tak paham agama, berkutak dengan dunia, walaupun ia hidup tapi namanya jarang disebut orang, tak banyak yang mendo’akannya, seakan keberadaannya di dunia ibarat orang mati yang tidak pernah ada. Kalau ia mati, maka tak dikenang lagi, namanya sirna bersama sirnanya jasad.
Seorang muslim akan akan berusaha untuk menjadi orang paling bahagia, orang yang benar-benar hidup dalam terangnya ilmu ilahi. Mereka tanpa lelah belajar agama dari sumbernya yang terpercaya Al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana yang dipahami oleh pendahulu mereka dari kalangan para sahabat Nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka. Dibawah bimbingan para ulama yang mumpuni. Sehingga ia mendapat apa yang Allah janjikan dalam ayat yang kita sebutkan di atas yaitu menghidupkan mereka dalam cahaya ilmu yang menerangi hidup di dunia dan di akhirat.
Selesai risalah ringkas ini di Makassar, 17 Jumadal Ula 1437 [26 Februari 2016]
Abu Ubaidillah al-Atsariy | www.abuubaidillah.com