Awal Perintah Dakwah Terang-terangan
Tatkala terbentuk sekumpulan orang-orang yang beriman kepada Rasulullah di awal dakwah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, maka terwujudlah ukhuwah dan ta’awun saling membantu diantara mereka. Ini beliau lakukan selama tiga tahun yaitu berdakwah kepada orang perorang. Ketika jumlah mereka mencapai sekitar 40 orang ditambah beberapa orang wanita. Paman nabi yaitu Hamzah bin Abdul Muththalib kemudian disusul oleh Umar bin khaththab semakin menambah kekuatan kaum muslimin di kala itu.
Kemudian turunlah firman Allah ta’ala yang artinya: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan” (QS. Asy Syu’ara: 214-216)
Dalam surah Asy Syu’ara ada kisah tentang Nabi Musa alaihissalam. Mulai dari awal hijrahnya Nabi Musa bersama Bani Israil dan kisah bagaimana Nabi Musa berdakwah kepada Fir’aun dan kaumnya. Hingga bagaimana Allah ta’ala menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya. Kisah dalam surah tersebut menjelaskan secara rinci tahapan-tahapan dakwah Nabi Musa kepada Bani Israil. Dalam beberapa ayat dari surah ini juga menjelaskan apa yang didapatkan oleh orang-orang yang menentang para Rasul. Diantaranya apa yang dialami oleh kaum Nabi Luth, kaum Add, kaum Tsamud, kaum Nabi Ibrahim, dan kaum Nabi Syuaib. Juga menceritakan nasib Fir’aun dan kaumnya. Semua itu disebutkan agar orang-orang yang ingin mendustakan Rasulullah berpikir 1000 kali, karena mereka akan bernasib sama dengan orang-orang sebelum mereka. Dan agar orang-orang beriman bersabar dengan segala tantangan dan rintangan yang akan mereka hadapi dalam mengimani apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dakwah Kepada Kerabat
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mulai berdakwah kepada keluarganya dari kalangan Bani Hasyim setelah turunnya surah asy Syuara ayat 214-216. Maka berkumpullah sekitar 45 orang dari Bani Abdul Muththalib bin Abdi Manaf. Mereka adalah keturunan Abdul Muththalib. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hendak berbicara, maka sekonyong-konyong Abu Lahab dengan lantang mengatakan: “Mereka ini adalah paman-paman mu dan sepupu-sepupu mu, maka berbicaralah dan tinggalkan agama Barumun itu. Ketahuilah bahwa kaummu tidak akan mampu menghadapi seluruh bangsa Arab. Aku adalah orang yang paling pantas mencegahmu. Suku-suku dari pihak bapakmu sudah cukup bagimu. Bagi mereka lebih mudah untuk mencegahmu sekarang, daripada mereka menghadapi selur kabilah dari suku Quraisy dan bangsa Arab yang memusuhi mu. Aku tidak pernah melihat ada orang dari suku-suku yang ada membawa perkara yang jelek dari apa yang engkau bawa.”
Mendengar pamannya Abu Lahab berbicara, Nabi hanya diam seribu basa. Tidak membantah tidak pula melawan dan mendebat Abu Jahal.
Namun suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengundang lagi keluarga beliau, lantas beliau berbicara: “Segala pujian hanya milik Allah, aku memujiNya, meminta pertolongan, beriman dan bertawakal kepadanya. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan tidak ada sekutu bagiNya.”
Beliau melanjutkan: “Sungguh seorang pemimpin tidak akan membohongi keluarganya sendiri. Demi Allah dimana tidak ada yang berhak diibadahi selain Dia, sungguh aku adalah utusan Allah yang datang kepada kalian secara khusus dan secara umum kepada manusia. Demi Allah kalian akan mati sebagaimana kalian tidur dan kalian akan dibangkitkan sebagaimana kalian bangun dari tidur. Kemudian kalian akan dihisab terhadap amalan yang telah kalian perbuat. Sungguh yang ada hanya Surga yang abadi atau Neraka yang kekal.”
Abu Thalib lalu berkomentar: “Alangkah senangnya kami membantumu, menerima nasihatku, dan membenarkan ucapanmu. Mereka dari suku-suku ayahmu telah berkumpul dan aku salah satu dari mereka, namun aku adalah orang yang paling cepat memahami apa yang engkau inginkan. Karenanya teruskan apa yang diperintahkan kepadamu dan demi Allah aku akan terus melindungi dan membelamu. Hanya saja aku tak cukup berani untuk berpisah dengan agama Abdul Muththalib”
Abu Jahal berteriak: “Demi Allah ini adalah aib yang besar. Ayo cegah dia sebelum orang lain yang mencegahnya”
Kata Abu Thalib: “Demi Allah selama kami masih hidup, maka kami akan membelanya” (Lihat al Kami karya Ibnu Atsir: 1/584-585 dan Ar Rahiq al Makhtum: 78-79)
Pelajaran Kisah
Kisah ini banyak memberi pelajaran berharga kepada kita diantaranya:
- Dakwah kepada kebenaran membutuhkan pengorbanan seperti korban harta, korban perasaan, bahkan korban nyawa sekalipun.
- Dalam dakwah senantiasa ada musuh-musuh baik dari kalangan keluarga atau selain mereka. Hingga keluarga terdekat sekalipun kadang menjadi musuh yang menghalangi dakwah.
- Metode dakwah Rasulullah yang memulai dakwahnya kepada orang-orang yang masih kosong dari ilmu agama dengan mengingatkan mereka akan hakikat kehidupan. Dimana kehidupan dunia bukan akhir segalanya tapi awal dari kehidupan berikutnya nanti di Akhirat. Juga mengingatkan mereka akan balasan kebaikan bagi yang berbuat kebaikan dan balasan kejelekan bagi yang berbuat kejelekan.
- Agama adalah hidayah. Coba kita lihat bagaimana Abu Thalib mengetahui bahwa yang dibawa oleh Rasulullah adalah kebenaran namun ia tidak mampu mengikutinya hanya sekedar karena fanatik kepada agama nenek moyang.
- Perang antara yang haq dan yang bathil akan senantiasa terjadi hingga akhir Zaman.
______________
Selesai tulisan ini di kediaman kami pada 15 Dzulqa’dah 1438 atau 08 Agustus 2017 | Abu Ubaidillah al Atsariy