Ilmu agama adalah kehidupan bagi seorang muslim. Dengan ilmu agama seseorang akan benar-benar hidup dan bisa membantu saudaranya untuk menadapat “kehidupan”. Ilmu ibarat hujan yang menyirami tanaman sehingga tetap tumbuh dan berkembang. Demikian juga dia ibarat air yang dibutuhkan oleh makhluk hidup. Manusia, hewa, dan tanaman tak mampu bertahan hidup tanpa air. Demikian pula mareka tak mampu hidup dengan sebenar-benarnya hidup tanpa ilmu syariat. Ini tergambar dalam sebuah perumpamaan indah yang diceritakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengan itu seperti perumpamaan hujan yang membasahi tanah di bumi. Diantara tanah tersebut ada jenis tanah yang baik yang menyimpan air dan menumbuhkan tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Diantara tanah itu juga ada (ajadib)[1] yang dapat menampung air sehingga Allah memberi manfaat kepada manusia dengan air tersebut lalu mereka meminumnya dan memberi minum hewan ternak, dan menyiram tanaman. Namun air hujan tersebut juga menimpa tanah yang lain yang disebut dengan (Qi’an) yang tidak bisa menampung air dan dan tidak pula menumbuhkan rerumputan. Permisalan itu seperti permisalan orang yang memahami ilmu agama Allah lalu dan mendapat manfaat dengan sesuatu yang Allah mengutusku dengannya, iapun mengilmui dan mengajarkannya. Dan juga permisalan orang yang enggan mengangkat kepalanya untuk ilmu serta tidak mau menerima petunjuk Allah dimana Allah mengutusku dengan hal itu” (HR. Bukhari dan Muslim).[2]
Imam Nawawiy[3] rahimahullah menjelaskan bahwa maksud hadits ini adalah perumpamaan petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diibaratkan air hujan. Jadi bumi itu ada tiga jenis sebagaimana manusia juga ada tiga jenis.
Jenis Pertama:
Bumi atau tanah yang mengambil manfaat dari air hujan sehingga ia bisa hidup (subur) setelah ia mati (gersang) bahkan ia bisa menumbuhkan tanaman, dan manusia, hewan, tanaman, dan lainnya bisa memanfaatkannya. Demikian pula dengan manusia pada jenis pertama ini, dimana telah sampai petunjuk dan ilmu kepadanya lalu ia menghafalnya sehingga bisa menjadikan hatinya hidup, ia amalkan, dan ia ajarkan kepada orang lain. Sehingga orang itu mengambil manfaat dari ilmunya dan orang lainpun mendapatkan manfaat darinya.
Jenis Kedua:
Tanah yang tidak dapat mengambil manfaat untuk dirinya dari air hujan akan tetapi tanah tersebut memiliki manfaat mampu menampung air, sehingga bisa dimanfaatkan oleh orang lain, dimanfaatkan oleh manusia dan hewan[4]. Demikian pula dengan manusia tipe kedua, dimana mereka memiliki hati yang mampu menghafal ilmu, akan tetapi tidak memiliki pemahaman yang kuat terhadap ilmunya dalam mengambil hukum dari makna-makna yang ada. Ia juga tidak memiliki semangat dalam mengamalkan ilmunya. Hingga datanglah penuntut ilmu yang membutuhkan ilmunya sedangkan penuntut ilmu tersebut adalah seorang yang mahir dalam memanfaatkan (memahami) ilmu itu.
Jenis Ketiga:
Adalah jenis tanah yang tidak bisa menumbuhkan tanaman dan tidak bisa menampung air sehingga orang lain tak bisa memanfaatkan air tersebut. Demikian pula jenis manusia yang ketiga yang tidak memilik kemampuan menghafal ilmu, dan tidak pula memiliki kemampuan memahami ilmu. Jika mereka mendengarkan ilmu, maka ia tidak bisa mengambil manfaat dari ilmu tersebut dan tidak pula mampu menghafal untuk memberi manfaat kepada orang lain.
Demikian penjelasan Imam Nawawi rahimahullah terkait makna hadits ini. Kita bisa melihat bahwa ilmu itu adalah penyejuk jiwa, ibarat air hujan yang menyirami bumi kemudian mendatangkan kesejukan, menumbuhkan tanaman sehingga nampak hijau indah dipandang mata. Tanpa ilmu hati akan menjadi gersang dan kering. Seperti hidup yang tak punya lagi harapan. Maka manusia yang paling berbahagia adalah manusia yang menerima petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai pedoman dalam kehidupan ini. Sebagaiman Allah ‘azza wa jalla berfirman:
“Kami berfirman: “Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak akan takut, dan tidak (pula) bersedih hati”. (QS. Al Baqarah: 38)
Petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah petunjuk dari Allah subhanahu wata’ala. Sebagaimana firman Allah ta’ala:
“Dan tiadalah yang diucapkan (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS. An Najm: 3-4)
Apa yang diajarkan Rasulullah ‘alaihish shalatu wassalam berupa ilmu dan petunjuk adalah bimbingan dari Allah subhanahu wata’ala dan bukan berasal dari dari hawa nafsu beliau. Jadi ketika petunjuk itu kita ikuti, maka akan menjauhkan kita dari ketakutan dan kesedihan serta mendekatkan kita kepada kebahagian dan ketenangan.
Tak Berguna Tanpa Amal
Namun ilmu agama ini tidak akan memberi manfaat jika sekedar didengarkan tanpa dihafal, diamalkan, dan didakwahkan. Ilmu perlu diamalkan dan didakwahkan, agar kita bisa mengambil manfaat dari ilmu tersebut, dan perlu didakwahkan agar orang lainpun bisa mengambil manfaat darinya. Imam Bukhari rahimahullah membuat satu bab dalam shahihnya, yaitu bab: Al Ilmu Qablal Qaul wal ‘Amal (Berilmu sebelum berkata dan bertindak), kemudian beliau membawakan satu dali dari al Qur’an yang menunjukkan keharusan beramal dengan ilmu, Allah ta’ala berfirman:
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Sesembahan (Yang Hak disembah) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan” (QS. Muhammad: 19)
Ayat ini menerangkan tentang wajibnya mengilmui kalimat La Ilaha Illallah sebelum mengucapkan dan mengamalkannya. Kalimat (فَاعْلَمْ) yang bermakna “ketahuilah” memberikan makna perintah. Dan perintah dalam konteks nash syariat kita memiliki hukum asal yang menunjukkan wajib. Artinya wajib bagi setiap orang yang ingin beramal dan berdakwah untuk mendasari amalannya itu dengan ilmu.
Semoga penjelasan ringkas ini bisa semakin mendorong kita untuk mencintai ilmu warisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berupa ilmu dan petujuk. Sehingga kita tidak menjadi orang sombong dengan tidak mau menerima dan meluangkan waktu kita untuk menuntut ilmu.
____
Materi ini kami petik dari faidah nasehat Syeikh Abdul Hadi al Umairi hafizhahullah dalam Daurah Asatidzah di Ponpes Assunnah Makassar, pada Ahad 19 Syawal 1437 H – 24 Juli 2016.
Disusun oleh Abu Ubaidillah al Atsariy | www.abuubaidillah.com
[1] Tanah yang tidak menumbuhkan tanaman.
[2] Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya pada kitabul ilmi bab: Fadlu man ‘alima wa ‘allama pada nomor hadits (79) dan Imam Muslim pada al Fadhail bab: Bayan Matsal ma bu’itsa bihi an Nabiyu shallallahu ‘alaihi wasallam min al Hudda wal ‘ilmi pada nomor hadits 2282
[3] Ketika beliau menjelasakan hadits ini dalam kitabnya al Minhaj Syarh an Nawawiy ‘Ala Shahih Muslim: 15/46.
[4] Dengan mengambil airnya untuk diminum atau untuk manfaat yang lain.