Perkara yang sangat disayangkan ketika banyak dari kaum Muslimin tidak memahami agamanya. Sehingga mereka menjalankan ritual Islam hanya mengandalkan taklid dan ikut-ikutan tanpa memahami dasar dan tujuan setiap amalan yang ia lakukan. Diantara perkara yang banyak tidak diketahui oleh sebagian kaum muslimin adalah makna dari kalimat “Islam” yang menjadi agamanya. Pertanyaannya adalah sepenting apa mengetahui makna dari kalimat “Islam” bagi kaum muslimin. Tentu itu sangat penting sekali, karena banyak dari penyimpangan yang terjadi ditengah ummat ini disebabkan tidak memahami kalimat “Islam”. Ini tentu wajar karena mayoritas masyarakat kita memang tidak memahami bahasa arab. Sehingga ketidak tahuan mereka mengatarkan kepada perbuatan menyelisihi al Qur’an dan sunnah sebagaimana yang dipahami pendahulu ummat ini dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Seperti paham liberal, kesyirikan, bid’ah, dan lain-lain.
Berikut kami nukilkan penjelasan ulama tentang makna kalimat “Islam” semoga bisa menyadarkan sebagian saudara kita yang “keblinger” dengan penyimpangan kelompok-kelompok sempalan.
Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan dalam kitabnya al Ushul ats Tsalatsah:
“Islam itu adalah menyerahkan diri kepada Allah dengan cara mentauhidkan-Nya, tunduk kepada-Nya dengan cara mentaati-Nya, dan membebaskan diri dari kesyirikan dan pelakunya”
Demikian definisi yang disebutkan dalam kitab al Ushul ats Tsalatsah. Sekarang kita coba rinci dan jelaskan secara detail definisi tersebut. Kalau dilihat dari definisi kalimat “Islam”, maka dapat kita bagi menjadi 3 bagian:
1. Menyerahkan diri kepada Allah dengan cara mentauhidkan-Nya.
Tauhid adalah asas dan pondasi agama, tanpa tauhid maka ibadah tidak akan ada bobotnya [Ittihaful ‘Uqul karya Syeikh Ubaid al Jabiri: 95].
Tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam beribadah hanya kepada-Nya dan tidak mensyerikatkan-Nya dengan sesuatu yang lain. Barangsiapa yang beribadah hanya kepada Allah –subhanahu wata’ala- dan tidak menduakan-Nya dengan sesuatu apapun, maka sungguh orang itu telah menyerahkan diri kepada Allah –subhanahu wata’ala-. Demikian yang dijelaskan oleh Syeikh Shalih al Fauzan anggota Ulama Besar Saudi Arabia [Syarh al Ushul ats Tsalatsah Lil Fauzan: 158]. Allah –subhanahu wata’ala- berfirman:
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus” [QS. An Nisa: 120]
Berkata Imam al Baghawiy (wafat: 510H): “Maksudnya adalah siapa yang paling kokoh agamanya dari orang yang menyerahkan diri kepada Allah, yaitu mengikhlashkan amalannya hanya kepada Allah. Ada pula yang berpendapat menyerahkan urusannya kepada Allah” [Tafsir al Baghawiy: 1/705].
Jadi Islam itu mengandung makna menyerahkan diri dan ikhlas kepada Allah. Ini menuntut seseorang seseorang untuk beramal dengan dasar ini. Bukan beramal karena manusia atau ingin mendapatkan dunia. Begitulah seorang Muslim yang membangun amalannya diatas keikhlasan yang merupakan makna dari kalimat tauhid (لا إله ألا الله).
2. Yang kedua dari kalimat “Islam” adalah tunduk kepada Allah dengan cara mentaati-Nya.
Tunduk makasudnya adalah tunduk lahir dan batin, bukan tunduk lahirnya saja. Orang yang hanya tunduk kepada Allah secara lahiriyah, namun batinya dan hatinya tidak tunduk, maka orang tersebut seperti orang munafik. Berbeda dengan seorang muslim yang tunduk kepada Allah lahir dan batin.
Ketundukan ini teraplikasi dengan ketaatan hanya kepada kepada Allah –subhanahu wata’ala-. Yaitu melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larang-Nya dalam rangka mentaati Allah -azza wa jalla- [Syarh al Ushul ats Tsalatsah Lil Fauzan: 158].
Namun perlu diperhatikan bahwa sebuah ketaatan tidak akan menjadi ketaatan kecuali jika sebuah perintah dilaksanakan dan larangan ditinggalkan berdasarkan pengetahuan dia terhadap perintah dan larangan. Orang yang menunaikan sebuah perintah tanpa ia mengetahui bahwa itu perintah, maka orang tersebut tidak dikatakan sebagai orang yang taat. Demikian pula orang yang meninggalkan larang tidak dikatakan taat, hingga ia meninggalkannya karena dasar mengetahui bahwa itu adalah larangan. Jadi memang untuk menjadi orang yang taat kita butuh ilmu. Yaitu ilmu tentang perintah dan ilmu tentang larangan. Ini tergambar dalam firman Allah -subhanahu wa ta’ala- :
“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang berimu dengan orang-orang yang tidak berilmu?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran” [QS. Az Zumar: 9].
Ayat ini menunjukkan bahwa orang berilmu dan orang tidak berilmu itu beda. Beda dari banyak sisi. Diantaranya adalah sisi pahala yang akan dia peroleh ketika ia beramal, mengerjakan perintah atau meninggalkan larangan. Orang berilmu akan mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan dengan niat ketaatan. Yang tentunya tidak mampu dilakukan oleh mereka yang tidak berilmu. Jadi Islam itu mengandung makna tunduk kepada Allah dengan cara mentaatinya. Bukan beragama sesuka hatinya tanpa ada ilmu yang dia jadikan sebagai rujukan beragama. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu al Qur’an dan Sunnah sebagaimana yang dipahami oleh para shahabat Nabi -‘alaihish shalatu wasallam- dan orang-orang setelahnya.
3. Perkara ketiga yang merupakan makna dari kalimat “Islam” adalah membebaskan diri dari kesyirikan dan pelakunya
Kesyirikan bertentangan dengan makna Islam, karena Islam adalah agama tauhid yang menjadi musuh bagi kesyirikan. Tak mungkin seorang yang beragama Islam mensyerikatkan dan menduakan Allah dalam beribadah jika ia memahami arti dari kalimat “Islam”. Para ulama mendefinisikan kesyirikan dengan:
“Menyamakan selain Allah dengan Allah dalam perkara yang menjadi kekhususan bagi Allah -azza wa jalla-“
Jadi menyamakan Allah -subhanahu wa ta’ala- dengan selain-Nya dalam berIslam yang merupakan kekhususan bagi Allah inilah yang dikatakan kesyirikan.
Kata Syeikh Shalih al fauzan -hafidzahullah- :”Berlepas diri maknanya adalah bemutuskan diri, meninggalkan, dan menjauhi kesyirikan dan pelaku kesyirikan. Ini dilakukan dengan meyakini kebatilan perbuatan syirik lalu menjauhinya. Juga meyakini wajibnya memusuhi orang-orang musyrik, karena mereka adalah musuh Allah. Maka jangan jadikan mereka sebagai wali, tapi jadikan mereka sebagai musuh, karena mereka adalah musuh Allah, musuh Rasul-Nya, dan musuh agama-Nya. Jangan cintai mereka, jangan jadikan mereka sebagai wali, tapi mereka itu ditinggalkan dan dijauhi” [Syarh al Ushul ats Tsalatsah Lil Fauzan: 158].
Jika ada sesorang yang pasrah kepada Allah dan mentaati perintah, serta meninggalkan larangan Allah namun ia tidak membenci kesyirikan dan para pelaku kesyirikan, maka ini belum cukup. Ia harus membenci kesyirikan dan menjauhi kesyirikan tersebut dan tentunya menjauhi para pelakunya.
Kesimpulannya bahwa kalimat Islam memiliki tiga kandungan:
1. Menyerahkan diri kepada Allah dengan cara mentauhidkan-Nya.
2. Tunduk kepada-Nya dengan cara mentaati-Nya.
3. Dan membebaskan diri dari kesyirikan dan pelakunya.
Inilah makna Islam yang harus kita pahami dan kita jadikan sebagai patron dalam menjalankan ajaran Islam. Karena Islam kita tidak akan tegak kecuali dengan mewujudkan tiga makna ini. Semoga Allah menjaga kita dari segala penyimpangan.
-
Selesai ditulis menjelang Dhuhur pada 04 Rabiul Awwal 1437H | 15 Desember 2015 di Masjid al Ihsan Ponpes al Ihsan (Kabupaten Gowa -Sulsel)
2 comments
Bismillah, Ilmu yg bermanfaat bagi diri saya, namun ada yg kurang jelas, apabila suatu perintah d laksanakan tanpa d ketahui itu suatu perintah, apakah tetap mendapatkan pahala d sisi Allah subhanahu wa ta’ala? Dan sejauh mana kita mesti menjauhi pelaku kesyirikan? Terima kasih sebelumnya.
Apabila suatu perintah di laksanakan tanpa di ketahui itu suatu perintah, maka ada beberapa kemungkinan
1. Ia melakukannya tanpa sadar. Maka ini tidak terhitung pahala.
2. Ia lakukan karena dasar kaidah umum bahwa Islam menganjurkan kebaikan. Maka insya Allah ia mendapat pahala.
3. Jika ia melakukan dengan sadar namun tanpa tahu itu perintah, maka kita berharap ia mendapat pahala, namun tentunya beda dengan pahala orang yang melakukannya dengan ILMU.
Maka hendaklah seorang muslim berusaha BERILMU SEBELUM BERAMAL, dan tidak bergampangan beramal tanpa ilmu, terkhusus dalam masalah akidah dan ibadah.
Wallahu a’lam