Setiap ucapan ada konsekuensinya, apa lagi yang diucapkan adalah persaksian, karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik jika tidak bisa maka hendaklah ia diam” (HR. Bukhar nomor 6018 Muslim nomor 47)
Sebab setiap ucapan ada konsekuensi yang terkait ucapan kita katakan. Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. Qaaf: 18)
Yakni kalangan malaikat Allah yang mencatat amalan-amalan hamba. Allah akan memberikan ganjaran setiap ucapan baik dan ancaman adzab bagi ucapan yang buruk.
Itu ucapan, apalagi ini persaksian yang tentu konsekuensinya lebih berat, terlebih lagi yang dipersaksiakan adalah Allah subhanahu wata’ala. Ketika seseorang mempersaksikan sesuatu lantas tidak menentapkan dan melaksanakan konsekuensinya, maka itu termasuk syahadat atau persaksian palsu dan menipu. Inilah sebab orang musyrik jaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengucapkannya, sebab mereka memahami konsekuensi dari ucapan syahadat La Ilaha Illallah ini.
Peniadaan tuhan-tuhan Selain Allah
Konsekuensi La Ilaha Illallah adalah meninggalkan peribadatan selain Allah lalu memperuntukkan ibadah hanya kepada Allah.
Meninggalkan seluruhnya dari sesembahan selain Allah, sebab seluruh yang selain Allah adalah alam atau makhluk, dan makhluk tidak berhak untuk diibadahi. Makhluk tidak punya sifat-sifat ketuhanan. Apapun itu benda mati atau benda hidup adan semua perkara yang Allah ciptakan tidak bisa diibadahi. Ini ditunjukkan oleh persaksian kita bahwa tidak ada yang berhak diibadahi dalam kalimat La Ilaha ( لَا إِلَهَ ). Maknanya adalah bahwa segala sesuatu harus kita nafikan (tiadakan) dalam ibadah kita.
Dalam bahasa Arab kalimat ( لَا ) disebut La Nafiya Lil Jinsi yakni huruf lam yang berfungsi untuk menafikan atau meniadakan segala jenis yang kata yang ada setelahnya. Perhatikan kata setelah huruf ( لَا ), maka anda akan melihat kata ( إِلَهَ ) yang maksudnya semua sesembahan. Jadi maknanya menghilangkan seluruh yang diibadahi. Sehingga “La” ( لَا ) disini fungsinya menafikan seluruh sesembahan, bahkan lafdzul jalalah Allah hilang karena kalimat “La” ini. Maka dari itu dibutuhkan kata istitsna ( إلَّا ) yang berfungsi mengecualikan. Sebab ketika kita mengucapkan La Ilaha saja tanpa Illallah itu betul-betul tidak ada tuhan, bahkan Allah pun tidak ada, sebab ini bentuk menafikan seluruhnya termasuk Allah, sehingga muncul kata istitsna ( إلَّا ) yang berfungsi mengecualikan.
Allah Tidak Butuh Bantuan
Tidak ada satupun serikat bagi allah, tidak ada pendamping bagi Allah, sehingga jika ada orang yang meminta kepada sesuatu selain Allah semisal meminta keselamatan kepada gunung, pohon, mayat atau kuburan, maka orang itu tidak menjalankan konsekuensi La Ilaha Illallah. Allah tidak punya syerikat dan tidak butuh kepada siapapun untuk membantuNya. Berbeda dengan makhluk dan manusia yang butuh terhadap orang lain. Mereka adalah makhluk sosial, sedangkan Allah absolut tidak butuh kepada selain siapapun dari makhlukNya.
Penetapan Sesembahan Hanya Bagi Allah
Dalam kalimat La Ilaha Illallah ada Itsbat (penetapan) sesembahan hanya bagi Allah. Ini nampak setelah kalimat La Ilaha ( لَا إلَهَ ) ada kalimat Illallah ( إلَّا اللهُ ) yang memiliki makna penetapan. Artinya menetapkan sesembahan hanya bagi Allah setelah ditiadakan semua sesembahan dalam kalimat La Ilaha ( لَا إِلَهَ ) yang artinya tidak ada satupun sesembahan yang berhak diibadahi.
Dengan dua perkara ini yaitu meniadakan sesembahan selain Allah dan kedua menetapkan ibadah hanya bagi Allah terwujudlah Tauhid. Tauhid secara bahasa bermakna menjadikan sesuatu menjadi satu. Menurut istilah bermakna menjadikan Allah satu-satunya yang diibadahi. Sehingga jika seseorang hanya meniadakan maka ia belum mewujudkan tauhid. Demikian pula jika ia hanya menetapkan, maka ia juga belum mewujudkan tauhid. Karena tauhid hanya terwujud ketika seseorang melakukan dua perkara sekaligus, yaitu meniadakan dan menetapkan.
Jadi seorang yang ingin mentauhidkan Allah dia harus mengucapkan La Ilaha Illallah secara lengkap. Bukan hanya mengucapkan La Ilaha saja atau Allah saja sebagaimana kita saksikan di tengah kaum muslimin ada orang yang berdzikir hanya menyebut Allah, Allah, Allah, Allah dan tidak menyebut kalimat tauhid secara lengkap.
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“Ketahuilah Laa ilaaha illallah, sesungguhnya tidak ada yang berhak diibadahi melainkan Allah…” (QS. Muhammad: 19)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
Dzikir yang paling utama adalah Laa ilaaha illallah (HR. Tirmidzi nomor 3383, Ibnu Majah nomor 3800 dan dihasankan oleh Syeikh al Baniy)
Diriwayatkan dari Abu Said Al Khudri radhiallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
“Musa berkata : “Ya Rabb, ajarkanlah kepadaku sesuatu untuk berdzikir kepadaMu dan berdoa kepadaMu”, Allah berfirman :
”Ucapkan hai Musa Laa ilaaha illallah. Musa berkata : “Ya Rabb, semua hambaMu mengucapkan kalimat itu”, Allah menjawab :” Hai Musa, seandainya ketujuh langit serta seluruh penghuninya, selain Aku, dan ketujuh bumi diletakkan dalam satu timbangan dan kalimat Laa ilaaha illallah diletakkan dalam neraca timbangan yang lain, niscaya kalimat Laa ilaaha illallah lebih berat.” (HR. Ibnu Hibban, dan Imam Hakim sekaligus menshahihkannya).
Jadi kesimpulannya Allah mengajarkan kepada kita dzikir La Ilaha Illallah dan bukan hanya mengatakan Allah, Allah, Allah atau hu, hu, hu.
Selesai tulisan ini pada Kamis, 27 Juni 2019 di meja kerja – Bambang Abu Ubaidillah al Atsariy –
_____
Referensi:
Al Qur’an Al Karim
Shahih Bukhari
Shahih Muslim
Sunan Tirmidzi
Sunnah Abu Dawud
Sunnan An Nasa’i
Kitab at tauhid
Al Qolul Mufid Fi Adillatit tauhid
2 comments
Mas Syaa Allah Barakallahu Fikum. Tulisannya ringkas dan kena pada intinya. Syukron
Alhamdulillah