Ketika bulan Sya’ban telah tiba, kaum muslimin biasanya menunggu hadirnya awal Ramadhan. Metode apa yang yang digunakan oleh Rasulullah dan para sahabatnya dalam menentukan awal Ramadhan ?
Jika kita melihat di negeri ini ada tiga metode yang yang dilakukan oleh kaum muslimin Indonesia untuk menentukan awal Ramadhan. Yaitu metode hisab, metode ru’yatul hilal, dan menggenapkan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari.
Apa perbedaan hisab dan ru’yatul hilal ?
Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah.
Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak (konjungsi). Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop. Rukyat dilakukan setelah Matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah Matahari terbenam (maghrib), karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya Matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka pada petang (maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru Hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maghrib hari berikutnya.
Perlu diketahui bahwa dalam kalender Hijriyah, sebuah hari diawali sejak terbenamnya matahari waktu setempat, bukan saat tengah malam. Sementara penentuan awal bulan (kalender) tergantung pada penampakan (visibilitas) bulan. Karena itu, satu bulan kalender Hijriyah dapat berumur 29 atau 30 hari. (https://id.m.wikipedia.org/wiki/Hisab_dan_rukyat)
Kalau kita kembali menengok sejarah kaum muslimin, maka akan kita dapati bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menggunakan hisab. Beliau dan para sahabat serta ulama setelahnya mencukupkan diri dengan ru’yatul hilal. Metode mengetahui hilal Ramadhan adalah dengan Ru’yah dan bukan yang lain. Menetapkan tempat keluarnya bulan (mathla’) dengan hisab kurang tepat. Karena kita mengetahui dengan pasti dalam sejarah Islam bahwa sejak awal Kaum muslimin menggunakan ru’yatul hilal. Diantara dalilnya adalah
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Apabila kalian melihat hilal, maka berpuasanya. Dan apabila kalian melihatnya, maka beridul fitrilah, dan jika awan menghalangi pandangan kalian, maka perkirakanlah.” (Muttafaq Alaihi).
Sebagian orang mengartikan kalimat perkirakan dalam hadits ini dengan hitunglah dan perkirakan dengan dengan ilmu hisab. Namun kalau kita lihat praktek Rasulullah dan para sahabat dalam menenntukan awal Ramadhan adalah dengan Ru’yatul hilal (melihat hilal) atau jika tidak terlihat, maka digenapkan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan:
“Jika awan menutupi kalian maka perkirakanlah tiga puluh hari.” Dalam riwayat Imam Bukhari disebutkan:
“Maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tigapuluh hari.” Dalam riwayat Imam Bukhari yang lain dari Abu Hurairah disebutkan,
“Maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban 30 hari.”
Lalu Bagaimana Prakteknya Di zaman Nabi ?
Menentukan masuknya bulan Ramadhan dengan Ru’yatul Hilal adalah perkara yang telah dipraktikkan oleh Nabi dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu berkata:
“Orang-orang saling melihat bulan sabit, lalu aku beritahukan kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bahwa aku benar-benar telah melihatnya. Lalu beliau puasa dan menyuruh orang-orang berpuasa pula” (Riwayat Abu Dawud (3242). Hadits shahih menurut Hakim dan Ibnu Hibban)
Dalam riwayat yang lain dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu disebutkan bahwa ada seorang Arab Badui menghadap Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, lalu berkata
“Sungguh aku telah melihat hilal. Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah?” Ia berkata: Ya. Beliau bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah.” Ia menjawab: Ya. Beliau bersabda: “Umumkanlah pada orang-orang wahai Bilal, agar besok mereka puasa.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, an Nasa’i, Ahmad). Hadits ini shahih menurut Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, sedangkan Nasa’i menilainya mursal)
Kesimpulannya menentukan awal Ramdhani dilakukan dengan dua cara:
1. Ru’yah hilal Ramadhan pada malam ke 30 Sya’ban.
2. Menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari.
Menerima Persaksiat satu Orang Yang Melihat Hilal
Ketika sudah ada yang melihat hilal, maka ia melaporkan apa yang ia lihat kepada pemerintah dan pemerintah yang memutuskan apakah persaksian orang tersebut diterima atau tidak. Untuk bulan Ramadahan cukup satu saksi saja yang diakui pemerintah, jika pemerintah mengakui satu saksi tadi, maka Ramadhan teranggap telah masuk. Ini adalah pendapat Ibnul Mubarak, Ahmad bin Hambal, salah satu pendapa Imam Syafi’i (Nailul Authar: 840, penerbit: Dar Ibn Hazm, Beirut)
Dalil yang mereka gunakan adalah hadits dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu tatkala berkata:
“Orang-orang saling melihat bulan sabit, lalu aku beritahukan kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bahwa aku benar-benar telah melihatnya. Lalu beliau puasa dan menyuruh orang-orang berpuasa pula” (Riwayat Abu Dawud (3242). Hadits shahih menurut Hakim dan Ibnu Hibban)
Dalam riwayat lain dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu bahwa ada seorang Arab Badui menghadap Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, lalu berkata
“Sungguh aku telah melihat bulan sabit (tanggal satu). Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?” Ia berkata: Ya. Beliau bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah.” Ia menjawab: Ya. Beliau bersabda: “Umumkanlah pada orang-orang wahai Bilal, agar besok mereka puasa.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, an Nasa’i, Ahmad. Hadits ini shahih menurut Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, sedangkan Nasa’i menilainya mursal)
Bagaimana Penentuan 1 Syawal ?
Adapun masuknya 1 Syawal atau Idul Fitri dibutuhkan dua saksi menurut pendapat terkuat dari para ulama. Berkata Imam Nawawiy rahimahullah:
“Adapun Idul Fitri maka tidak diperbolehkan persaksian satu orang untuk menetapkan masuknya bulan Syawal menurut seluruh ulama kecuali Abu Tsaur” (Syarh An Nawawiy ‘Ala Muslim: 7/190).
Walaupun ada juga sebagian ulama seperti Abu Tsaur, Ibnu Hazm berpendapat berbeda dan Imam Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar cenderung kepada pendapat tersebut.
Adapun dalil yang digunakan oleh Jumhur Ulama bahwa penetapan 1 Syawal diharuskan minimal ada dua saksi berbada dengan Ramadhan yang cukup satu saksi adalah hadits Abdurrahman bin Zaid bin al Khaththab bahwa para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan bahwa Nabi bersabda,
“Berpuasalah kalian karena melihat hilal, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika hilal itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada dua orang saksi menyaksikan hilal, maka berpuasa dan beridul fitrilah kalian.” (HR. An Nasai (1/300), Ahmad (4/321), Lihat Irwaul Ghalil (909))
Berkata Syeikh Abu Malik Kamal bin Sayyid hafizhahullah: “Ini menunjukkan tidak boleh ya persaksian satu orang pada penentuan puasa dan Idul Fitri, namun keluar dari hukum ini puasa dengan dalil hadits Ibnu Umar yang telah disebutkan diatas. Sisa Idul Fitri yang tidak boleh ditetapkan dengan satu saksi karena tidak ada dalil yang mengkhususkannya” (Shahih Fiqh As Sunnah: 2/92)
_____________________
Selesai di Makassar pada malam 23 Sya’ban 1438 H / 19 Mei 2017 | Abu Ubaidillah al Atsariy