Setiap orang berusaha mendapatkan kebahagiaan. Dan kebahagiaan itu adalah hakekat yang dicari oleh semua orang. Baik orang beriman atau orang kafir, yang baik atau orang tidak baik, orang kaya atau orang miskin, semua menginginkan kebahagiaan. Tetapi mereka berbeda cara di dalam mendapatkan kebahagiaan tersebut. Ada yang melihat kebahagiaan itu adalah usaha memperbanyak harta, dan yang lain melihat kebahagiaan itu bisa didapatkan dengan cara mencari status sosial di masyarakat, ada pula yang berusaha meninggikan jabatannya, atau yang lainnya. Sebenarnya kebahagiaan yang kita sebutkan diatas adalah bagian dari sebuah kebahagiaan bukan kebahagiaan yang sebenarnya karena itu adalah kebahagiaan yang tergantung dengan waktu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir” (QS. At Taubah: 55)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman,
“Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan” (QS. Ali Imran: 185).
Demikianlah kebahagiaan harta, anak, jabatan, dan semisalnya dari kebahagiaan sementara. Karena kebahagiaan tersebut bisa saja hilang atau bahkan bisa menjadi sesuatu yang menyiksa kita di dunia maupun di akhirat.
Seorang penyair berkata:
“Aku tidak melihat kebahagiaan itu dengan mengumpul harta,
Tetapi orang yang bertaqwa itulah orang yang bahagia
Bukanlah orang bahagia itu adalah orang yang dibahagiakan oleh dunianya
Karena sungguh orang bahagia itu adalah orang selamat dari api neraka”
Maka tidak ada kebahagiaan yang lebih besar dari kebahagiaan ilmu yang bermanfaat dan amal yang shaleh yang akan dirasakan di dunia, alam barzah dan akhirat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. An Nahl: 97).
Ilmu Apa Yang Kita Maksud ?
Ilmu yang kita maksudkan di dalam pembahasan kita ini adalah ilmu agama. Apa ilmu agama itu ? Ilmu adalah lawan dari kebodohan. Orang yang berilmu berarti bukan orang yang bodoh dan orang yang bodoh berarti bukan orang yang berilmu. Ilmu bertentangan dengan kebodohan sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (QS. AzZumar: 9)
Syekh Muhammad Sholeh utsaimin rahimahullah menafsirkan ilmu dengan ucapannya
Mengetahui sesuatu atas apa yang ada pada sesuatu tadi dengan pengetahuan pasti” (Kitabul Ilmi: 11).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Nuniyah
“Ilmu itu adalah Firman Allah Sabda Rasulullah dan ucapan para sahabat karena mereka adalah orang-orang yang memiliki makrifah”
Berkata Syeikh Muhammad Ibnu Abdul Wahab rahimahullah
“Ilmu adalah mengenal Allah mengenal nabinya dan mengenal ajaran Islam dengan dalilnya” (Al Ushul Ats Tsalatsah)
Inilah hakikat ilmu yang dinginkan di dalam pembahasan Alquran dan hadis Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Ini sumber kebahagian di dunia, di alam barzah dan di akhirat. Karena al Quran dan sunnah adalah petunjuk untuk meraih kebahagian.
Berkata Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i rahimahullah
Setiap ilmu selain al qur’an adalah menyibukkan
Kecuali hadits dan fiqhih dalam agama
Ilmu itu adalah apa yang ada di dalamnya ucapan Haddatsana (telah menceritakan kepada kami)
Dan selain ilmu itu maka hanya bisikan syaithan.
Kisah Adam Yang Bahagia
Dikisahkan di dalam al Quran tentang Adam ‘alaihissalam yang diciptakan oleh Allah subhanahu wata’ala lalu hidup bahagia di surda. Allah berfirman,
“Dan Kami berfirman: “Hai Adam diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang dzalim” [QS. Al Baqarah: 35]
Berkata Ibnu Katsir
“Allah ta’ala berfirman memberi kabar tentang apa yang lakukan untuk memuliakan Adam, setelah sebelumnya Allah memerintahkan para Malaikat sujud kepada Adam, maka merekapun sujud kecuali Iblis. Allah mempersilahkan Adam tinggal di syurga sesuaikemauan beliau, mempersilahkan memakan apa saja yang beliau inginkan, karena nikmatnya, luasnya dan baiknya makanan yang ada di syurga” [Tafsir Ibnu Katsir: 1/233]
Adampun tinggal bersama istrinya di syurga beberapa lama sesuai yang Allah kehendaki hingga Iblis yang hasad dan sombong berhasil membujuk keduanya untuk mendekati pohon yang Allah larang. Yang menyebabkan ia harus turun ke bumi yang penuh penderitaan karena pelanggaran yang beliau lakukan. Walau Adam dan istrinya diperintah tinggal di dunia yang penuh derita sebagaimana yang disifati oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim no. 2392)
Namun Allah yang Maha penyayang berpesan kepada Adam dan istrinya agar mereka mengikuti petunjuk Allah agar mereka tetap bahagia. Allah berfirman:
Kami berfirman: “Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati“[QS. Al Baqarah: 38]
Allah subhanahu wata’ala juga berfirman,
Allah berfirman: “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barang siapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan sengsara” [QS. Thaha: 123]
Inilah ayat yang menjelaskan tentang jalan kebahagian, yaitu mengikuti petunjuk.
Lalu apa itu petunjuk (الهُدَاى) ?
Mari kita melihat penjelasan para ulama tentang makna al Huda (petunjuk).
Berkata Syeikh Abdurrahman Nashir As Sa’di rahimahullah :”Petunjuk adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang mendapat hidayah selamat dari kesesatan dan syubhat (kerancuan), dan memperoleh hidayah untuk menjalani jalan yang bermanfaat” [Taisirul Karimir Rahman: 40]
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan beberapa pendapat para ulama terkait makna (الهُدَاى)
As Sudiy dari Abu Malik dari abu Shalih dari Ibnu Abbas dari Murrah al hamdaniy dari Ibnu Mas’ud dari beberapa orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mereka mengatakan bahwa petunjuk adalah cahaya.
Berkata Asy Sya’biy rahimahullah,
“Petunjuk dari kesesatan”
Berkata Sa’id bin Jubair radhiyallahu ‘anhu
“Penjelasan” [Tafsir Qur’anil Adzim 1/163]
Berkata Syeikh Shalih al Fauzan hafizhahullah :”Petunjuk adalah Ilmu yang bermanfaat” [Al Mulakhash al Fiqhiy: 1/7]
Inilah hakikat ilmu agama yang akan memberikan kebahagian, dan ketentraman di dalam hidup di dunia maupun di akhirat. Sehingga sangat wajar ketika Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta tambahan ilmu. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu“[QS. Thaha: 114]
Berkata al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah: “Ayat ini sangat jelas menunjukkan keutamaan ilmu, karena Allah tidak pernah memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk meminta tambahan sesuatu kecuali ilmu agama” [Fath al bariy: 1/187]
Ini karena semakin luas ilmu agama, maka semakin paham seseorang dengan urusan agamanya, sehingga akan semakin banyak kebaikan yang Allah akan berikan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037).
Yang dimaksud fakih dalam hadits bukanlah hanya mengetahui hukum syar’i, tetapi lebih dari itu. Dikatakan fakih jika seseorang memahami tauhid dan pokok Islam, serta yang berkaitan dengan syari’at Allah.[Kitabul ‘Ilmi, hal. 21]
Berkata Abu Yusuf kepada Imam Ibrahim Adham (seorang Tabi’in),
“Suatu kaum ingin santai dan merasakan kenikmatan (bahagia), namun mereka salah mengambil jalan yang lurus” [Al Bidayah wan Nihayah, cet. Ihyaut Turots jilid. 10 hal. 147]
Kebahagiaan Apa Yang Bisa Kita Dapat Dari Ilmu Agama ?
- Bahagia dengan Kehidupan Hati
Salah satu ciri dan keutamaan ilmu agama adalah menghidupkan. Sebagaimana yang Allah sebutkan dalam al-Qur’an,
“Dan apakah orang yang tadinya mati kemudian Kami hidupkan dia dan Kami berikan kepadanya cahaya, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” [QS. al-An’am: 122]
Ayat ini ditafsirkan oleh Syeikh Abdurrahman Nashir As Sa’di rahimahullah dengan berkata: “Apakah orang yang sebelumnya tidak diberi hidayah Allah, (seakan) mati dalam kegelapan kekufuran, kebodohan, dan maksiat lalu Kami (Allah) hidupkan orang itu dengan cahaya ilmu, keimanan, dan ketaatan kemudian ia menjadi orang yang berjalan di tengah manusia dalam cahaya yang menerangi urusan-urusannya, dalam keadaan diberi petunjuk di atas jalannya. Mengenal dan mengutamakan kebaikan, bersungguh-sungguh mempraktekannya pada dirinya dan orang lain. Mengenal keburukan dan benci dengan keburukan tersebut. Dia tinggalkan dan ia semangat dalam menghilangkan keburukan itu dari dirinya dan orang lain. Apakah orang seperti ini sama dengan orang yang berada dalam kegelapan ?
Gelapnya kebodohan, melampaui batas, kekufuran, dan gelapnya maksiat” [Taisirul Karimir Rahman: 272]
- Bahagia Dengan Diangkatnya Derajat
Orang-orang berilmu adalah orang berbahagia dengan diangkatnya derajatnya oleh Allah subhanahu wata’ala. Diangkat derajat adalah suatu kebahagiaan sebagaimana orang yang dinaikkan pangkatnya di dunia, maka orang yang terangkat derajatnya akan berbahagia. Apalagi yang mengangkat derajatnya adalah Allah subhanahu wata’ala, alangkah bahagianya orang itu. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” [QS. Al Mujadalah: 11]
Oleh karena itu kita melihat para ulama adalah orang-orang dipuji oleh manusia. Ketika namanya disebut maka banyak orang yang memberi penghargaan. Ini dunia…
Adapun di akhirat, maka derajat mereka akan diangkat sesuai dengan usaha dakwah kepada Allah yang mereka lakukan dan sesuai dengan amalan yang telah mereka kerjakan, demikian penjelasan Syeikh Utsaimin dalam kitabul Ilmu hal. 13.
- Bahagia Mendapat Warisan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Ilmu agama adalah warisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena Nabi tidak mewariskan harta, emas, intan permata. Tapi Rasul mewriskan ilmu agama. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, sesungguhnya mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang telah mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Ada sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Ath-Thabraani dalam Al Mu’jam Al Ausath (nomor 1429) dengan sanad hasan
Dari Abu Hurairah, bahwasanya suatu ketika Abu Hurairah melewati pasar di kota Madinah, lalu beliau berhenti di sana. Beliau berkata, “Wahai orang-orang yang di pasar, alangkah ruginya kalian!”. Mereka menjawab: “Ada apa wahai Abu Hurairah?!”. Dia berkata: “Di sana ada warisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang dibagikan, kenapa kalian masih di sini? Kenapa kalian tidak pergi ke sana mengambil bagian kalian?”. Mereka menjawab: “Di mana itu?!” Dia berkata: “Di Masjid.”Lalu orang-orang tadi bergegas menuju ke masjid, sedangkan Abu Hurairah masih tetap menunggu di pasar hingga orang-orang tadi kembali. Ketika mereka kembali ke pasar Abu Hurairah bertanya kepada mereka: “Kenapa kalian kembali?” Mereka manjawab: “Wahai Abu Hurairah! Sungguh kami telah pergi ke masjid dan kami tidak melihat apapun dibagikan di sana!” kemudian Abu Hurairah bertanya kepada mereka: “Bukankah kalian melihat ada orang di sana?” Mereka menjawab: “Tentu saja, kami melihat ada sekelompok orang yang sedang sholat, sekelompok yang lain sedang membaca Al Qur’an, dan sekelompok yang lain lagi sedang menyebutkan tentang perkara halal dan haram!” Maka Abu Hurairah berkata kepada mereka: “Sesungguhnya itulah warisan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
- Bahagia Dengan Ketenangan Hati Dan Rahmat Allah
Ilmu agama akan memberikan ketenangan hati dan kebahagiaan serta ramat dari Allah subhanahu wata’ala. Sebagaimana ini tergambar dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di rumah dari rumah-rumah Allah, mereka membaca Kitabullah dan saling mengajarkan diantara mereka, kecuali akan turun kepada mereka sakinah, mereka akan dilingkupi rahmat Allah, akan di naungi para malaikat, dan akan disebut-sebut namanya oelh Allah di hadapan malaikat yang ada disisiNya”
- Bahagia Karena Dimudahkan Masuk Surga
Seorang muslim yang mencari ilmu agama akan dimudahkan jalannya menuju syurga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Siapa yang meniti jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mudahkan jalannya menuju syurga” [HR. Muslim dari Abu Hurairah]
- Bahagia Dekat Dengan Allah
Dan sungguh sangat indah apa yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim,
“Seandainya keutamaan ilmu hanyalah kedekatan pada Rabbul ‘alamin (Rabb semesta alam), dikaitkan dengan para malaikat, berteman dengan penduduk langit, maka itu sudah mencukupi untuk menerangkan akan keutamaan ilmu. Apalagi kemuliaan dunia dan akhirat meliputi orang yang berilmu dan dengan ilmu menjadi syarat untuk mencapainya” (Miftah Daaris Sa’adah, 1: 104).
Testimoni
Apa yang kita telah sebutkan adalah keterangan yang sangat jelas dari al Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tergambar dengan jelas bagaimana ilmu itu betul-betul memberi banyak kebahagiaan dan nikmta yang tidak terkira sehingga tidak muncul rasa cemburu mereka kepada orang yang bergelimang harta, tahta, dan wanita.
Berikut beberapa testimoni yang bisa kami sampaikan sebagai contoh.
“Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: “Sekiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”.
“Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: “Celaka kalian ini, pahala Allah itu lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar”.
“Maka Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap azab Allah. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya)”
“Dan jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Karun itu. berkata: “Aduhai. benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah)” [QS. Al Qashshash: 80-82]
Semangat Tinggi Pencari Kebahagiaan
■ Dari Katsir bin Qais Dia berkata:
“Aku duduk di tempat Abu Darda di masjid Damaskus tiba-tiba datanglah seseorang kepada beliau dan berkata: “Wahai Abu Darda aku datang dari kota Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena satu Hadis yang sampai kepadaku bahwa anda yang menceritakannya dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam”. Abu Darda berkata : “Anda bukan datang untuk berdagang ? Orang itu menjawab: “Bukan”. Abu Darda berkata: “Juga bukan untuk yang lainnya ? Orang itu menjawab: “Bukan”
Abu Darda berkata: “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga” [HR. Ibnu Majah]
■ Abdullah Bin Al Qosim al ‘Ataki ingin melakukan safar dari Kairo ke Madinah untuk mencari ilmu di tempat Imam Malik. Ketika itu istri Abdullah dalam keadaan hamil dan dia berkata kepada istrinya: “Aku sangat ingin melakukan perjalanan untuk mencari ilmu. Aku melihat bahwa aku tidak akan kembali ke Mesir kecuali setelah waktu yang lama. Kalau kamu ingin, aku akan menceraikanmu. Aku akan menceraikanmu sehingga kamu bisa menikah dengan orang yang kau kehendaki. Nsmun jika kamu ingin tetap berada dalam tanggung jawabku, maka aku akan lakukan. Tapi aku tidak tahu kapan Aku akan kembali kepadamu. Ternyata istrinya memilih untuk tetap menjadi istrinya. Berangkatlah Ibnul Qasim ke tempat Imam Malik. Ibnul Qasim berada di sana selama 17 tahun dan terus mengikuti imam Malik. Beliau tidak melakukan jual beli. Bahkan obsesinya tercurah untuk menuntut ilmu. Pada masa ini istrinya melahirkan anak laki-laki dan tumbuh menjadi besar. Ibnul Qasim tidak tahu tentang kelahiran anaknya karena berita-berita tentang istrinya telah terputus semenjak kepergiannya. Ibnul Qasim berkata: “Suatu hari aku berada di tempat Imam Malik pada majelisnya, tiba-tiba datang kepada kami seorang jamaah haji di Mesir yang masih muda menutup mukanya dan mengucapkan salam kepada Imam Malik. Kemudian berkata: “Apa diantara kalian ada Ibnu Qosim ?”
Maka mereka menunjuk kepadaku lalu dia pun datang kepadaku memelukku dan mencium keningku. Aku mencium bau anak darinya. Ternyata dia adalah anakku yang telah aku tinggal ketika istriku dalam keadaan mengandungnya sekarang telah tumbuh besar. [Waratsatul Anbiya: 41]
■ Semoga Allah merahmati Waki’ Ibnul Jarrah dimana seluruh hari-harinya digunakan dalam ketaatan. Beliau berpuasa terus menerus, berangkat di pagi buta duduk untuk para pencari hadits sampai matahari tinggi. Kemudian pulang dan tidur siang sampai waktu Dhuhur. Kemudian keluar untuk shalat Dhuhur, lalu menuju ke jalan yang tinggi dimana para pemilik binatang biasa naik ke tempat tersebut untuk mengangkut air dan mengistirahatkan binatang-binatang pengangkut air mereka. Beliau mengajari mereka sesuatu dari Alquran yang dengannya mereka bisa menunaikan shalat fardhu hingga menjelang waktu Ashar. Kemudian beliau kembali ke masjid menunaikan shalat Ashar, lalu duduk mengajarkan al-Quran, membaca Dzikrullah, hingga matahari tenggelam. Setelah itu masuk ke dalam rumah dan disuguhkan hidangan berbuka untuk beliau. [Waratstul Anbiya: 42]
■ Imam Az Zuhriy berkata seakan-akan sedang berbicara tentang keadaan mereka dan melihat kegiatan mereka para penuntut ilmu:
“Ada dua golongan yang rakus dan tidak akan kenyang yaitu penuntut ilmu dan penuntut dunia” [Waratstul Anbiya: 44]
Adapun penuntut ilmu, maka bertebaran debunya dan kita telah tahu beritanya dengan nyata. Kisah mereka terdapat di perut buku, baik biografi maupun penyebutan namanya.
mudah-mudahan Allah menjaga sisa yang masih ada dari para ulama kita dan pencari ilmu di zaman kita.
■ Abu Darda’ berkata: ” aku dibuat bingung oleh satu ayat dari Alquran dan aku tidak mendapatkan orang yang bisa membukakan persoalan tersebut kecuali seseorang dari Bark Al Ghumad ( برك الغماد ) maka sungguh aku akan pergi mendatanginya” [Siyar: 2/342]
■ Murid-murid Abu Jafar Muhammad bin jarir menghitung karya-karya beliau Semenjak beliau balik hingga meninggal dunia lalu mereka bagi dengan masa hidup beliau ternyata setiap hari terdapat 14 lembar. [Tadzkiratul Khuffadz: 2/711]
Kesengsaraan Akibat Meninggalkan Ilmu
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta“.[QS. Thaha: 124]
Berkata Imam Ibnu Katsir rahimahullah:
{وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي} Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku artinya menyelisihi perintahku, dan menyelisihi apa yang aku turunkan kepada Rasul-Ku, dia berpaling darinya dan melupakannyadari mengambil petunjuk dari selain-KU, {فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا} maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit maksudnya di dunia, tidak ada ketenangan baginya, tidak ada kelapangan dada baginya, dia akan merasa sempit karena kesesatannya walau kelihatannya merasakan nikmat, dia memakai pakaian apa saja yang ia kehendaki, makan sesukanya, tinggal dimanapun ia mau, namun hatinya tidak mersakan keyakinan dan petunjuk. Dia berada dalam kebimbangan, keraguan dan ketidak menentuan, dan ia selalu merasakan kebimbangan itu, inilah hakikat kesempitan hidup. Berkata Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu : “maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit” artinya kesengsaraan. [Tafsir Al Qur’an al Adzim]
Contoh mereka yang meninggalkan ilmu al Qur’an dan Sunnah untuk lalu lebih meilih selainnya dari ilmu filsafat’
■ Imam Al Ghazali
Berkata Ibnu Abil Izz rahimahullah
Pada fase terakhir (ketika beliau mempelajari ilmu kalam), telah mencapai sikap statis dan bingung dalam berbagai persoalan ilmu kalam. Beliau lalu meninggalkan jalan itu dan kembali menekuni hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika beliau meninggal Kitab Shahih Bukhari berada di atas dadanya. [Syarh ath Thahawiyah. Cet.Darus Salam: 208]
■ Demikian halnya dengan Abul Ma’ali Al juwaini[1] pernah berkata:
“Wahai sahabat-sahabat kami, janganlah kalian disibukkan dengan ilmu kalam. Aku tahu sampai di mana ilmu kalam itu membawa diriku, ketika aku juga disibukkan dengan ilmu kalam”. Ketika menjelang wafat beliau berkata: “Aku telah menyelami lautan yang luas, kutinggalkan pemeluk Islam dengan ilmu-ilmu mereka, aku justru menyelami ilmu yang mereka larang. Kini kalau aku tidak dinaungi Rahmat Rabb ku sungguh celaka bagi Ibnu Juwaini. Inilah diriku yang mati membawa keyakinan aqidah ibuku”
Ada riwayat bahwa beliau mengatakan membawa keyakinan wanita-wanita negeri naisabur (yaitu aqidah yang benar)” [Syarh ath Thahawiyah. Cet.Darus Salam: 209]
■ Syeikh Abu Abdillah Muhammad bin Abdil Karim asy Syahrastaniy.[2]
Beliau mengatakan bahwa beliau tidak pernah memperoleh apa-apa dari ilmu filsafat dan para ahli kalam selain kebingungan dan penyesalan.
Beliau berkata:
Telah ku jelajahi balai balai pendidikan ilmu kalam itu seluruhnya ku Arahkan mataku diantara rambu-rambunya itu
Namun yang kutemui hanyalah orang yang duduk bertafakur kebingungan atau gemeretak giginya karena menyesal” [Syarh ath Thahawiyah. Cet.Darus Salam: 209]
■ Muhammad bin Salim bin Wasil Al Hamami mengatakan
“Ketika aku tengah berbaring diatas ranjangku sambil menutup wajahku dengan selimut, aku membandingkan antara argumen masing-masing mereka hingga terbit fajar namun tak satupun argumentasi mereka Yang Ku Anggap kuat”[3] [Syarh ath Thahawiyah. Cet.Darus Salam: 209]
■ Berkata al Khaufajiy ketika hendak wafatnya:
“Tidak ada yang aku ketahui dari apa yang telah kudapatkan sesuatupun kecuali bahwa suatu kemungkinan butuh untuk di tarjih”
Dia juga mengatakan:
“Butuh itu adalah sifat negatif. Dan aku mati tanpa aku tahu apa-apa” [Syarh ath Thahawiyah. Cet.Darus Salam: 209]
Ada juga yang mengatakan:
Aku terbaring di atas dipan dan meyelimuti wajahku lalu aku membenturkan antara pendapat-pendapat mereka ahli filsafat, sampai datangnya waktu shubuh, namun aku belum bisa menentukan pendapat yang paling kuat sedikitpun” [Syarh ath Thahawiyah. Cet.Darus Salam: 209]
Selesai tulisan ini di pada 5 Shafar 1437 H | 5 November 2016 Wisma Biru kota Bone Sulawesi Selatan pada Daurah AhlusSunnah Sulselbar ke V di al Markaz al Ma’arif Bone
______________
[1] Beliau adalah Abdul Malik bin Abdillah al Juwaini yang bergelar “Imamul Haramain”. Kalangan yang paling alim diantara para sahabat Imam Syafi’i. Diantara buku-bukunya adalah: Al Aqidah An Nidzamiyah, al Burhan Fii Ushulit Tafsir, dan al Irsyad Fi Ushulid Din. beliau wafat pada tahun 478 Hijriyah Lihat: Wafayatul A’yan: 1/287
[2] Beliau adalah Muhammad bin Abdil Karim bin Ahmad asy Syahrastaniy. Seorang Imam pakar dalam ilmu kalam, perbandingan agama, dan perbandingan mazhab. Diantara buku-bukunya adalah: Al Milal wan Nihal, Nihayatul Iqdam Fii Ilmil Kalam, dan Al Irsyad Ila Aqaidil Ibad”. beliau wafat pada tahun 548 Hijriyah. Lihat “al A’lam” (VII: 83).
[3] wafat pada tahun 697 Hijriyah