Hilful Fudhul adalah kesepakatan Untuk menghentikan segala bentuk kedhzaliman di Kota Mekah.
Pada bulan Dzulqa’dah seusai perang Fijar terjadilah Hilful Fudhul (kesepakatan) antara lima suku dari kabilah Quraisy. Mereka adalah Bani Hasyim, Bani Muthalib, Bani Asad, Bani Zuhrah, dan Bani Taim.
Sebab terjadinya kesepakatan ini adalah ketika ada seseorang dari suku Zubaid datang ke Mekkah dengan membawa barang dagangan. Kemudian Al Ash bin Wail As Sahamiy membeli barang dagangan tersebut. Namun ia menahan hak orang yang menjualnya atau tidak membayarnya. Maka penjual tadi mengadukan urusannya kepada Bani Abdur Dar, Bani Makhzum, Bani Jumah, Bani saham, dan Bani ‘Adiy.
Namun ternyata suku-suku tadi tidak ada yang menggubris pengaduan orang tersebut. Naiklah orang itu ke atas gunung Abu Qubais. Lalu ia menyebutkan kedhaliman yang dialami dengan bait-bait syair. Dia memanggil orang-orang yang bisa menolongnya untuk mengembalikan haknya.
Secara tiba-tiba lewatlah di tempat tersebut Az Zubair bin Abdul Muthalib dan dia berkeinginan untuk mengupayakan agar hak orang tersebut bisa kembali. Selang beberapa waktu berkumpullah suku-suku yang kita telah sebutkan tadi di rumah Abdullah bin Jad’an pimpinan Bani Taim. Merekapun bersumpah dan saling mengikat janji agar tidak ada lagi di Kota Mekah orang-orang yang didholimi baik dari penduduknya atau yang lain, kecuali mereka akan mengembalikan hak orang yang didhalimi tersebut.
Kemudian suku-suku yang telah bersepakat ini menemui Al Ash bin Wail As Sahamiy dan meminta untuk mengembalikan hak orang Azzubaidi yang telah dia ambil lalu Al Ash bin Wail As Sahamiy mengembalikan barang yang ia telah ambil kepada pemiliknya.
Dan sungguh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menghadiri perjanjian ini bersama dengan paman-paman beliau. Ini beliau ceritakan setelah Allah Subhanahu Wa Ta’ala memuliakan beliau dengan Kerasulan. Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sungguh aku mengikuti sebuah sumpah perjanjian di rumah Abdullah bin Jad’an dari sebuah perjanjian yang lebih aku cintai daripada aku memiliki unta merah dan seandainya aku diundang untuk mendatangi perjanjian yang seperti itu ketika aku telah mengenal Islam, maka sungguh aku akan memenuhi undangan tersebut” [Ibnu Hisyam 1/154-155]
Kandungan kisah ini adalah bahwa perjanjian tersebut telah menghilangkan semangat-semangat jahiliyah di zaman sebelum Nabi Shallallahu Alaihi Salam diutus. Dimana orang-orang Jahiliah dari kalangan orang-orang Quraisy mereka sangat fanatik dengan sukunya dan golongannya sehingga kita melihat ketika Abu Tholib diajak masuk Islam oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam maka beliaupun enggan. Karena lebih membanggakan suku dan kebudayaan nenek moyangnya.
Inilah sebab orang-orang kafir Quraisy tidak menerima dakwah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Namun dalam perjanjian tersebut kita dapati bahwa orang-orang Quraisy dalam hal ini adalah orang-orang Mekah bersepakat akan menolong siapa saja yang terdzolimi baik dari sukunya atau bukan sukunya.
Dan ini menunjukkan suatu perkara yang baik sehingga Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam sangat berharap ketika ada perjanjian seperti itu beliau akan mendatangi undangannya.
Rujukan
- Ar Rahiqum Makhtum, Syeikh Shafiyur Rahman al Mubarak Furiy
- Raudhatul Anwar, Syeikh Shafiyur Rahman al Mubarak Furiy
- At Ta’liq Ala Ar Rihiqim Makhtum, Mahmud bin Muhammad al Malah
ِAbu Ubaidillah Bambang al Atsariy | 1 Shafar 1437 H – 1 November 2016 | abuubaidillah.com