Diantara kesalahan yang biasa terjadi di tengah kaum muslimin adalah sikap yang melampaui batas terhadap orang-orang shalih. Hingga sebagian kaum muslimin mensifati orang-orang shalih tadi dengan sifat yang hanya menjadi kekhususan bagi Allah. Seperti mengganggap mereka mampu mengatur rezeki, mengatur hujan, bisa mengabulkan do’a dan harapan, dan bisa dimintai pertolongan. Tidak diragukan bahwa ini termasuk bentuk kesyirikan menduakan Allah ta’ala.
Sebagai contoh adalah sikap orang Nashrani yang berlebih-lebih kepada Nabi Isa ‘alaihissalam.
Allah ta’ala berfirman,
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat yang disampaikan kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya” (QS. An Nisa: 171)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Janganlah kalian memujiku seperti arang-orang Nashara memuji putra Maryam, karena aku hanyalah seorang hamba, maka katakan hamba Allah dan RasulNya” (HR. Bukhari nomor 3445 dari Umar bin Khaththab)
Dua dalil ini menunjukkan bahwa berlebih-lebihan dalam bersikap kepada para Rasul atau mendudukkan mereka pada posisi Allah ta’ala adalah bentuk kesalahan. Lebih-lebih jika ia bukan seorang Rasul bahkan bukan orang shalih namun kemudian dimintai do’a dan bertawakkal kepadanya. Ini jelas-jelas sebuah kesalahan.