Ada perbedaan sisi pandang di kalangan kaum muslimin tentang tanda masuknya Ramadhan. Ada dua metode yang menjadi rujukan dalam masalah ini. Yaitu metode Hisab atau memperkirakan masuknya ramadhan dengan cara menghitung berdasarkan ilmu astronomi. Metode kedua yaitu metode Ru’yah atau sekedar melihat hilal tanggal 1 di akhir bulan Sya’ban. Jika terlihat hilal, maka pertanda masuknya Ramadhan dan jika tak terlihat, maka bilangan bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari.
Mari kita menengok bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing kita dalam hal tersebut.
Lafadz Hadits
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Jika kalian melihat (hila), maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya, maka beridul fitrilah, jika cuaca (pandangan kalian) tertutup mendung, maka perkirakanlah” [HR. Bukhari (1906), Muslim ( 1080)]
Makna Hadits
Abdullah bin umar radhiyallahu ‘anhuma mengabarkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghubungkan antara puasa dan Idul Fitri dengan sesuatu yang nampak dan dimaklumi. Sehingga manusia berada dalam kejelasan ilmu dalam menjalankan urusan (agama) mereka.
Caranya adalah dengan melihat hilal (ru’yatul Hilal) atau menyempurnakan bulan sebelumnya menjadi 30 hari. Karena tidak mungkin bilangan hari dalam satu bulan lebih dari 30 hari.
Nabi ‘alaish shalatu wassalam telah memerintahkan ummatnya untuk berpuasa ketika mereka melihat hilal Ramadhan dan memerintahkan mereka ber idul fitri ketika melihat hilal bulan Syawal.
Jika ada penghalang yang menghalangi ru’yatul hilal karena adanya mendung atau semisalnya, maka mereka menggenapkan bilangan bulan sebelumnya menjadi 30 hari, karena hukum asalnya masih bagian dari bulan sebelumnya. Tidak boleh menghukumi keluarnya dari bulan sebelumnya kecuali dengan suatu keyakinan (bahwa telah masuk bulan berikutnya).
Makna Hadits
Hadits diatas memberikan beberapa faidah diantarnya:
- Wajibnya puasa Ramadhan jika telah terbukti ru’yatul hilal (melihat bulan sabit) secara Syar’i.
- Apabila seseorang berada ditempat yang jauh dari tempat dilihatnya hilal maka ia tidak wajib puasa jika mathla’ (waktu muncunya hilal ditempat itu) berbeda. Karena secara hakiki dan secara hukum hilalnya tidak terlihat.
- Wajibnya menggenapkan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari apabila terhalang mendung atau semisalnya yang menghalangi hilal Ramadhan.
- Wajibnya ber idul fitri jika hilal bulan Syawwal telah terbukti secara syar’i.
- Tidak wajib beridul fitri bagi orang yang berada di posisi yang jauh dari tempat terlihatnya hilal, apabila tempat tersebut berbeda mathla’.
- Wajibnya menggenapkan bilangan Ramadhan menjadi 30 hari apabila terhalang mendung atau semisalnya yang menghalangi hilal Syawwal.
- Terpatahkannya prinsip berpegang dengan pendapat ahli hisab (menentukan Ramadhan sebelum munculnya hilal) dalam menentukan masuknya bulan (hijriyah).
- Orang yang melihat hilal sendiri (orang lain tidak melihatnya), maka kosekwensinya ia mengamalkan ru’yahnya.
Sumber: Tanbihul Afham Syarh Umdatil Ahkam karya Ibnu Utsaimin, hal. 37-38
Penterjemah: Abu Ubaidillah Makassar (selesai 16 Sya’ban 1437 / 23 Mei 2016)