Di dunia ini segala sesuatu bertingkat-tingkat. Ada di atas dan ada yang di bawah. Ada miskin dan ada yang kaya. Yang miskin bertingkat-tingkat yang kaya juga bertingkat-tingkat.
Demikian pula perkara-perkara lain, kita akan dapati semuanya bertingkat-tingkat. Diantaranya agama ini, bahwa agama ini juga bertingkat-tingkat. Namun bertingkat di dalam agama bermakna derajat. Agama kita memiliki tiga tingkatan. Yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu :
Dari Umar radhiallahuanhu dia berkata : “Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pada suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh.Tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututRasulullah shallallahu’alaihi wasallam lalu berkata: “ Ya Muhammad, beritahu aku tentang Islam ?”, maka sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam : “Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibaidahi selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan berhaji jika mampu “, kemudian orang itu berkata: “engkau benar “. Kamipun heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “Beritahu aku tentang Iman“. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, kemudian dia berkata: “engkau benar“. Kemudian orang itu berkata lagi: “ Beritahukan aku tentang ihsan“. Lalu beliau bersabda: “ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” . Kemudian orang itu berkata: “Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya“. Orang itu berkata: “Kalau begitu beritahu aku tanda-tandanya“, beliau bersabda: “Jika ada seorang budak melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang telanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya“, kemudian orang itu pergi dan akupun berdiam sejenak. Lalu beliau (Rasulullah) bertanya: “Tahukah engkau siapa yang bertanya tadi?”. aku berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian“ [Riwayat Muslim]
Riwayat ini menjelaskan tentang pertanyaan Malaikat Jibril ‘alaihissalam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang agama Islam. Ini terlihat ketika Nabi ‘alaish shalatu wassalam mengatakan di akhir hadits: “Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian“. Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Islam itu terdiri dari tiga tingkatan, yaitu Islam, Iman, dan Ihsan. Berikut kami sajikan pembahasan dari tiga tingkatan tersebut.
Tingkatan Islam
Tingkatan ini adalah tingkatan pertama dalam agama. Atau kita katakan derajat pertama dalam agama. Prof. Dr. Shalih al-Fauzan hafidzahullah salah satu ulama besar Kerajaan Saudi Arabi berkata: “Cakupan Islam lebih luas dari Iman dan Ihsan. Karenanya orang-orang munafik masuk ke dalam makna Islam kalau orang munafik tersebut tunduk kepada aturan Islam, dan menampakkan ketaatannya, dan secara dhahir dia berpegang dengan ajaran Islam. Kalau mereka shalat bersama kaum muslimin, mengeluarkan zakat, dan mengamalkan amalan Islam yang dhahir, maka diberlakukan kepada mereka hukum-hukum Islam di dunia seperti memperlakukan kaum muslimin yang lain. Akan tetap di akhirat mereka akan masuk ke dalam neraka yang paling bawah, karena mereka tidak punya iman dan hanya punya Islam”[Syarh Tsalatsatul Ushul Lil Fauzan: 160].
Penjelasan Syeikh Shalih al-fauzan di atas sangatlah jelas. Bahwa seorang dianggap muslim tidak perlu ada syarat harus beriman. Karena memang Muslim itu belum tentu Mukmin. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah (kepada mereka): “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: “Kami telah masuk Islam”, karena iman itu belum masuk ke dalam hati kalian…” [QS. Al-Hujurat: 14].
Anda bisa perhatikan ayat diatas, bagaimana Allah subhanahu wa ta’ala membedakan antara Islam dan Iman, Muslim dan Mukmin. Islam adalah tingkatan yang paling bawah dari Agama kita. Jadi seorang Muslim belum tentu Mukmin.
Tingkatan Iman
Ini adalah tingkatan kedua atau derajat kedua dari Agama kita. Orang yang beriman disebut mukmin. Seorang mukmin pasti muslim namun tidak semua muslim adalah mukmin. Ini menunjukkan bahwa iman kedudukannya lebih tinggi dari Islam. Seorang mukmin adalah orang yang berislam lahir dan batin. Dia telah meyempurnakan Islamnya hingga mencapai derajat mukmin. Dia bukan sekedar menjalankan syariat Islam secara dhahir, namun juga memupuk keimanan di dalam hati. Ini yang tidak dimiliki oleh orang munafik yang hanya menampakkan Islam namun menyembunyikan kemunafikan dalam hatinya. Dalam pengertian Ahlussunnah wal jama’ah Iman itu adalah meyakini dalam hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan perbuatan. Iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
Tingkatan Ihsan
Tingkatan Ihsan adalah tingkatan tertinggi dalam Islam. Sehingga tingkatan ini tidak banyak di raih oleh kaum muslimin. Ihsan secara bahasa artinya berbuat baik. Yaitu seorang hamba berbuat baik kepada Allah dengan memperbaiki hubungannya dengan Allah dengan cara beribadah kepada-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa Ihsan itu adalah “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, dan jika engkau tak mampu melihatnya, maka rasakan bahwa Allah melihatmu”. Yaitu engkau meyakini seyakin-yakinnya bahwa Allah melihatmu dimanapun engkau berada” [Syarh Tsalatsatul Ushul Lil Fauzan: 160].
Bisa kita artikan bahwa Ihsan itu adalah muraqabatullah yaitu suatu keadaan merasa senantiasa diawasi oleh Allah azza wa jalla. Sehingga ia akan senantiasa memberikan amalan terbaiknya kepada Allah.
LOGIKA TASAWWUF
Hadits ini membantah pendapat tasawwuf yang dilontarkan oleh orang-orang sufi yang membagi tingkatan agama menjadi empat. Yaitu Syariat, Tarikat, Hakikat, Ma’rifat. Ini adalah pembagian agama menurut pandangan orang-orang sufi. Tentu kalau kita lihat berbeda dengan tingkatan agama yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tingkatan agama menurut sufi adalah ketika seseorang telah mencapai tingkat tertentu, maka boleh baginya meninggalkan konsekwensi dari tingkat dibawahnya. Contohnya jika seseorang telah mencapai tingkat hakikat atau ma’rifat, maka boleh ia meninggalkan tuntutan syariat. Sampai ada diantara mereka yang meninggalkan shalat dengan alasan sudah mencapai tingkat ma’rifat. Dan ketika mereka melakukan pelanggaran syariat, maka mereka mengatakan bahwa mereka telah mencapai tingkat ma’rifat sehingga tidak boleh perbuatan mereka di nilai dengan ilmu syari’at. Tentu ini beda dengan tingkatan agama dalam hadits ini. Selain memang beda istilah, namun juga beda dari sisi prakteknya. Karena tingkatan agama dalam hadits tidak bermakna meninggalkan tingkat di bawahnya. Namun bermakna menyempurnakan. Jadi seorang mukmin adalah muslim juga, tapi lebih sempurna Islamnya. Dan Muhsin adalah seoarang muslim dan mukmin yang kualitas Islamnya lebih baik lagi. Wallahu A’lam
Abu Ubaidillah al-Atsariy | abuubaidillah.com
____________
Selesai tulisan ini pada sore hari 29 Desember 2015 di rumah kami, kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
□■ Berbagilah Dengan Teman Anda | Beri kesempatan mereka untuk membacanya >> AYO SHARE