Ketika kita berjalan, maka kita akan menemukan di pinggir-pinggir jalan papan informasi yang bertuliskan “JAGALAH KEBERSIHAN”. Ini menunjukkan bahwa kebersihan bukan saja sebagai tren, tapi juga sebagai sebuah kebutuhan. Kebersihan adalah keadaan terbebas dari segala kotoran seperti debu, sampah, dan bau. Setelah ilmuan prancis Louis Pasteur (meninggal tahun 1895) menemukan proses penularan penyakit atau infeksi disebabkan oleh mikroba, maka kebersihan juga berarti bebas dari virus, bakteria patogen, dan bahan kimia berbahaya [sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Kebersihan].
Demikian pengertian kebersihan menurut ahli kesehatan. Namun apakah kebersihan jasmani itu cukup ? jawabannya itu belum cukup. Kenapa ? Karena manusia hidup itu terdiri dari unsur jasmani dan unsur rahani yang kedua-duanya harus dibersihkan. Disinilah kelebihan dari konsep kebersihan yang paparkan dalam ajaran Islam. Di edisi bulletin kita kali ini kami akan mengajak anda untuk sedikit menyelami konsep kebersihan dalam sunnah Rasulullah -‘alaish shalatu wassalam-. Semoga bisa menjadikan kita mengerti betapa lengkap dan besarnya perhatian Islam kepada masalah kebersihan.
Definisi kebersihan menurut Islam
Kebersihan menurut Islam diistilahkan dengan ‘Thaharah’ ( اَلـطَّـهَارَةً ) atau bersuci. Sebagaimana firman Allah -subhanahu wa ta’ala-:
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang membersihkan diri” [QS. Al Baqarah: 222].
Ayat ini menerangkan tentang konsep kebersihan yang dibahasakan dengan ‘thaharah’ dan juga menerangkan kecintaan Allah kepada mereka yang melakukan thaharah. Lalu apa yang dimaksud dengan thaharah ? Thaharah itu adalah mensucikan diri dari kotoran yang nampak dan kotoran yang tidak nampak. Kotoran yang nampak yang disebut dengan Najis, seperti air kencing, kotoran manusia, darah haid dan lain-lain. Kotoran-kotoran itu dibersihkan dengan cara mencuci dan membersihkannya. Ada juga kotoran yang tidak nampak seperti buang angin, junub, dan haid yang disebut dengan hadats. Para ulama mengatakan bahwa hadats itu adalah suatu sifat ynag dalam tubuh dimana sifat itu menghalangi seseorang dari mengerjakan shalat dan semisalnya [al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah: 40/77]. Ada juga para yang mendefinisikan bahwa hadats itu adalah sesuatu yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur) [Khulashah al Kalam Syarh ‘Umdah al Ahkam: 11]. Ternyata Islam mengajarkan kebersihan lebih dari apa yang diajarkan manusia. Dan tidak Cuma sampai disitu, Islam juga mengajarkan kebersihan maknawi. Kebersihan ini dikenal dengan istilah ‘Thaharah Maknawiyah’ yaitu bersuci dari kotoran-kotoran hati. Seperti kotoran kesyirikan, kesombongan, hasad, dengki, putus asa dan lain-lain. Perkara-perkara tersebut juga dinamakan dengan kotoran karena itu bisa mengotori salah satu dari unsur manusia yaitu hati. Hati juga perkara yang harus dijaga dari kotoran. Allah -azza wa jalla- berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang Musyrik itu adalah najis..” [QS. At Taubah: 28].
Najisnya orang-orang musyrik bukan berarti najis pada tubuhnya, karena kita boleh saja bersalaman dengan mereka. Akan tetapi najisnya mereka adalah najis maknawi. Yaitu najis akidahnya yang menyakini adanya sesembahan lain selain Allah -subhanahu wa ta’ala-. Ini artinya hatinya kotor dan hanya bisa dibersihkan dengan tauhid yaitu menyakini bahwa sesembahan yang berhak disembah hanyalah Allah. Kita bisa melihat bagaimana agama yang diturunkan 14 abad yang lalu ini telah berbicara tentang kebersihan demikian lengkap melebihi konsep yang dibuat oleh manusia-manusia sekarang. Maka kewajiban kita adalah kembali kepada konsep Islam yang lengkap dan paripurna dalam memahami makna sebuah kebersihan.
Hukum Asal Segala Sesuatu Adalah Suci
Salah satu keistimewaan konsep kebersihan dan kesucian dalam Islam adalah bahwa suci atau tidaknya suatu benda itu berdasar kepada keyakinan dan ilmu. Bukan berdasar kira-kira dan praduga. Konsep inilah yang dijabarkan oleh para ulama dengan satu kaidah “al Ashlu fisy Syai’ ath Thaharah” artinya hukum asal segala sesuatu adalah suci. Jadi untuk menentukan apakah sesuatu itu suci atau tidak maka kita harus yakin tanpa ada keraguan sedikitpun. Mari kita lihat penjelasan Syeikh Abdurrahman as Sa’di -radhiyallahu ‘anhu- seorang ahli fikih yang hidup pada tahun 1889–1956 Masehi. Beliau mengatakan dalam kitabnya: “Jika seorang muslim ragu terhadap najisnya air, pakaian, tempat, atau yang lainnya, maka hukum sesuatu itu adalah suci. Karena hukum asal segala seuatu adalah suci”[Manhajus Salikin Lisy Syaikh asSa’di]
Penjabaran Kaidah
Mari kita coba jabarkan kaidah ini dengan penjelasan Syeikh Abdul Azis bin Baz -radhiyallahu ‘anhu- seorang ulama kontemporer yang ahli dalam bidang akidah, hadits, fikih dan lain-lain meninggal pada tahun 1999 M/1420 H, ketika suatu hari ada yang bertanya: “Jika kami mengunjungi salah satu kerabat dan ketika tiba waktu shalat kitapun mengerjakan shalat. Ternyata mereka punya baju khusus untuk shalat. Kadang kami memakai baju tersebut untuk shalat dalam kondisi kami tidak suka memakainya. Karena kami ragu terhadap kesucian baju tersebut. Demikian pula lantai yang kami gunakan lalu lalang –wallahu a’lam- tentang kesuciannya dimana kami juga shalat diatas lantai tersebut. Apakah shalat kami sah atau tidak ?”
Maka beliau menjawab: “Hukum asal pada pakaian, tanah (lantai –pent), dan segala sesuatu adalah suci, kecuali jika engkau mengetahui deng, kecuali jika engkau mengetahui dengan pasti kenajisannya. Jika pakaian yang engkau pakai shalat itu tidak engkau ketahui kenajisannya, maka shalatmu sah. Sedang keraguanmu tidak teranggap dan jangan terpengaruh. Demikian pula lantai hukum asalnya adalah suci. Jika kamu tidak mengetahui najis tidaknya, maka hukum asalnya adalah suci dan tidak ada kewajiban untuk mengulangi shalat. Karena keraguan tidak bisa dijadikan ukuran dalam masalah ini. Karena keraguan itu dari setan” [http://www.binbaz.org.sa/node/19427]
Demikianlah seharusnya seorang muslim yang menjalankan agama ini dengan ilmu dan keyakinan. Sehingga kita melihat betapa ajaran Islam mengajarkan kita untuk ilmiyah dan menilai sesuatu dengan ilmu al Qur’an dan Sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Semoga penjelasan singkat ini bisa mendorong kita untuk lebih mempelajari dan mendalami ilmu agama. Sehingga kita bisa membangun amalan kita diatanya. Termasuk dalam melihat masalah kebersihan dari berbagai sudut pandang pembahsan agama.