Kewajiban puasa Ramadhan telah ditetapkan dengan al Qur’an dan sunnah serta menurut kesepakatan kaum muslimin. Siapa yang mengingkari kewajibannya maka ia telah kafir kepada Allah ta’ala.
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)
Ayat ini adalah keterangan jelas yang menerangkan tentang wajibnya puasa Ramadhan, bahkan disebutkan bahwa ia adalah kewajiban yang diwajibkan kepada umat terdahulu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Islam dibangun diatas 5 dasar yaitu persaksian bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, berhaji, dan berpuasa Ramadhan” (HR. Bukhari nomor 8 dan Muslim nomor 16 dari Abdullah bin Umar)
Ini adalah satu dari sekian banyaknya dalil dalam hadits yang menerangkan wajibnya puasa Ramadhan sebagai salah sati dari rukun Islam yang lima.
Berdasarkan ayat dan hadits ini, maka seluruh kaum muslimin dulu sampai sekarang menyatakan bahwa puasa Ramadhan hukumnya wajib.
Tahapan Pensyariatan Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan itu berat dan melelahkan bagi mereka yang tidak terbiasa berpuasa menahan lapar dan haus. Itulah sebabnya kewajiban puasa ditetapkan pada tahun ke 2 hijriyah atau tahun ke 15 kenabian. Demikian penjelasan Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zad al Ma’adalah. Itupun pensyariatannya tidak langsung namun melalui tahapan-tahapan yang sangat indah. Inilah karakteristik syariat Islam yang penuh dengan kemudahan. Allah ta’ala berfirman,
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu” (QS. Al Baqarah: 185)
Awal mula puasa yang diwajibkan yaitu puasa ‘Asyura atau puasa tanggal 10 Muharram. Puasa ini awalnya dilakukan oleh orang-orang Quraisy dan diikuti oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berhijrah ke Madinah beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa di hari Asyura. Beliaupun bertanya kepada penduduk Madinah mengapa orang Yahudi berpuasa. Maka mereka mengatakan bahwa bahwa hari Asyura adalah hari baik dimana Allah telah menyelamatkan Bani Israil dari musuh-musuh mereka hingga Nabi Musa ‘alaihissalam pun berpuasa untuk menghormati hari tersebut. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa beliau lebih berhak untuk berpuasa. Beliaupun lalu berpuasa dan memerintahkan kepada para sahabat untuk ikut berpuasa di hari Asyura. Itulah awal pertama diwajibkan puasa. Demikian dijelaskan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha,
“Orang-orang Quraisy pada masa Jahiliyah melaksanakan puasa hari ‘Asyura’ dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakannya. Ketika Beliau sudah memasuki kota Madinah Beliau tetap melaksanakannya dan memerintahkan orang-orang untuk melaksanakannya pula. Setelah diwajibklan puasa Ramadhan Beliau meninggalkannya. Siapa yang mau silakan berpuasa dan siapa yang tidak mau silakan meninggalkannya”. (HR. Bukhari nomor 2002, Muslim nomor 1125)
Kemudian di tahun ke 2 hijriyah barulah diwajibkan puasa namun tetap ada keringan memilih. Maksudnya orang boleh memilih berpuasa atau tidak berpuasa. Bagi yang mampu dan tidak berpuasa, maka cukup ia membayar fidyah dan tidak mengqadha atau mengganti puasa. Allah berfirman,
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. al Baqarah: 184).
Ini meruapakan tahapan kedua setelah sebelumnya diwajibkan puasa Asyura. Namun ketika puasa Ramadhan diwajibkan walau dengan cara bisa memilih antara puasa dan fidyah maka puasa Asyurapun tidak diwajibkan lagi tapi sekedar sunnah.
Di periode ketiga Allah mewajibkan kepada seluruh kaum muslimin untuk berpuasa tanpa ada pilihan fidyah atau puasa kecuali yang memiliki udzur syar’i. Cuma diperiode ketiga ini kaum muslimin hanya boleh berbuka dan makan sampai sebelum tidur. Jika ada yang tertidur maka ia tidak boleh lagi makan sampai datang waktu berbuka dihari setelahnya. Dalam artian mereka tidak disyariatkan sahur. Tentu ini sangat memberatkan kaum muslimin. Hingga sebuah kejadian terjadi yang dikisahkan oleh Imam Bukhari dalam shahihnya dari al Barra bi Azib radhiyallahu ‘anhu ia bercerita bahwa ada seoarng sahabat Nabi yang bernama Qais bin Shirmah al Anshari yang pada siang harinya beliau bekerja keras lalu di waktu berbuka ia bertanya kepada istrinya apakah ada makanan?. Istrinya menjawab: “Tidak ada, namun jika engkau ingin maka aku akan mencarikanmu makanan di luar”. Lalu Istri Qais al Anshari pergi mencari makan untuk suaminya. Tapi ternyata ketika ia tiba di rumah ia melihat suaminya telah tertidur karena kelelahan habis bekerja di siang itu. Lalu ia berkata kepada suaminya: “Ruginya dirimu wahai suamiku, engkau tertidur sebelum berbuka”. Qais bin Shirmah pun tidak berbuka dan terus berpuasa hingga keesokan harinya dipertengahan siang Qaispun pingsan. Berita ini kemudian sampai ke telinga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu turunlah firman Allah subhanahu wata’ala
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu” (QS. al Baqarah: 187)
Turunnya ayat ini membahagiakan para sahabat karena didalamnya ada keringanan dari Allah ta’ala. Bagaimana tidak padahal sebelumnya mereka diperintahkan berpuasa tanpa sahur, setelah itu mereka diperbolehkan makan hingga datangnya waktu subuh. Ini terbukti dengan firman yang Allah turunkan kepada mereka,
“Maka sekarang campurilah mereka (istri-istri kalian) dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” (QS. al Baqarah: 187)
Akhirnya pada tahap keempat puasa Ramadhan diwajibkan secara mutlaq dengan model puasa ada sahur dan berbuka. Allah ta’ala berfirman,
“Barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (QS. al Baqarah: 185)
Demikianlah histori pensyariatan puasa Ramadhan yang sangat indah menggabarkan bagai sayangnya Allah subhanahu wata’ala kepada hamba-hambaNya. Allah subhanahu wata’ala tidak hendak menyengsarakan hambaNya dengan puasa, namun hendak mengangkat derajat mereka dengan meningkatkan ketaqwaan dan keimanan. Allah telah memudahkan puasa Ramadhan hingga menjadi sebuah ibadah yang mampu dilakukan oleh setiap hambaNya dengan tetap menjaga pahala yang berlibat dan penuh keberkahan. Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam sebuah hadits Qudsi,
“Puasa itu milik Ku dan Aku yang akan membalasnya. Orang yang puasa meninggalkan syahwat, makan, dan minumnya karena Aku” (HR. Bukhari nomor 7492 dan Muslim nomor 1151)
_______
Selesai tulisan ini Ba’da Tarawih 01 Ramadhan 1440 Hijriyah / 05 Mei 2019 | Bambang Abu Ubaidillah al Atsariy