Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna. Segala sesuatu telah Allah dan rasul-Nya jelaskan dalam nash-nash syariat. Sehingga tidaklah ada suatu kebaikan kecuali telah diterangkan dalam Islam. Demikian pula tidak ada suatu kejelekan kecuali telah di peringatkan oleh Islam. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda :
وَايْمُ اللَّهِ لَقَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى مِثْلِ الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا وَنَهَارُهَا سَوَاءٌقَالَ أَبُو الدَّرْدَاءِ صَدَقَ وَاللَّهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرَكَنَا وَاللَّهِ عَلَى مِثْلِ الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا وَنَهَارُهَا سَوَاءٌ
“Sungguh demi Allah aku telah meninggalkan kalian dalam keadaan terang benderang, malamnya sama dengan siangnya” berkata Abu Darda :”Demi Allah sungguh benar rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-, beliau meninggalkan kita –demi Allah- dalam keadaan terang benderang, malamnya sama dengan siangnya”.(HR. Ibnu Majah dengan sanad yang hasan)
Hadits ini bermaksud menjelaskan bahwa perkara-perkara Islam telah jelas dan sempurna, telah dijelaskan dan di terangkan dengan gamblang oleh rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- sebagaimana yang Allah terangkan dalam al Qur’an :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Ku sempurnakan agama untuk kalian, dan telah Aku cukupkan nikmat atas kalian, serta Aku telah ridha Islam menjadi agama kalian”. (QS. Al Maidah : 3)
Salah satu perkara yang telah dijelaskan oleh Islam adalah hal yang berkaitan dengan bersuci dan tata cara bersuci. Dalam bahasa syariat bersuci di ungkapkan dengan kalimat Thaharah (اَلطَّهَارَةُ).
Definisi Thaharah (اَلطَّهَارَةُ)
Thaharah secara bahasa maknanya berbersih dan bersuci dari segala kotoran, baik kotoran yang bersifat kongkrit (nyata) maupun kotoran yang bersifat maknawiyah (abstrak).
Kotoran yang kongkrit contohnya : air kencing, kotoran manusia, bangkai, dan lain-lain. Adapun kotoran yang abstrak contohnya : kesyirikan, hasad, dengki, dosa-dosa, dan lain-lain. Oleh karena itu disebutkan dalam riwayat Bukhari bahwa nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- apabila mendatangi orang sakit untuk menjenguknya, maka beliau berdo’a :
لاَ بَأْسَ طَهُورٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Tidak mengapa thahurun (pembersih dari dosa) insya Allah” (HR. Bukhari)
Dosa adalah sesuatu yang abstrak yang tidak bisa dilihat atau diraba. Namun rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- mengibaratkan dengan kalimat thahur (thaharah) untuk menunjukkan bersihnya seseorang dari dosa.
Lawan kata dari thaharah adalah najis yang maknanya secara bahasa adalah segala sesuatu yang kotor, baik yang sifatnya kongkrit (nyata) atau abstrak (tidak nyata). Sehingga dosa-dosa bisa disebut najis (Al Fiqh ‘ala alMadzahib al Arba’ah 1/7)
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda :
إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis”(Shahih Ibnu Khuzaimah(1329))
Najis dalam hadits ini adalah najis maknawiyah yaitu najisnya kenyakinan dan aqidah orang-orang musyrik. Ini artinya jika seseorang bersentuhan dengan orang musrik atau kafir, maka dia tidak harus mencuci dan membersihkan badannya karena beranggapan bahwa jasad orang musyrik dan kafir itu najis.
Adapun definisi thaharah menurut istilah adalah terangkatnya hadats dan yang semakna dengannya serta hilangnya najis (Zaadul Mustaqni’ hal 25).
Hadats adalah suatu keadaan atau shifat yang ada pada badan yang menghalangi seseorang untuk mengerjakan shalat dan ibadah lain yang padanya ada syarat bersuci. Seperti buang angin, buang air kecil atau besar, junub, haid dan nifas. jadi jika seseorang buang air kecil misanya, maka orang tersebut dalam keadaan berhadats dan air kencingnya najis. Ini perbedaan antara najis dan hadats. Kencing yang keluar adalah najis dan keadaan orang yang kencing adalah berhadats. Maka makna terangkatnya hadats ketika seseorang telah berwudhu untuk hadats kecil dan mandi janabah untuk hadats besar.
Kemudian dalam definisi disebutkan “yang semakna dengannya” artinya semakna dengan mengangkat hadats. Karena amalannya tidaklah mengangkat hadats namun dianggap sebagai thaharah. Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin –rahimahullah- memberikan permisalan seperti mencuci tangan setelah bangun dari tidur malam, maka ini hukumnya wajib dan ini disebut dengan thaharah padahal sekedar mencuci tangan tentunya tidaklah mengangkat hadats, karena jika ia hanya mencuci tangan, maka ia belum boleh shalat. Demikian pula seseorang yang memperbaharui wudhunya, yaitu ia berwudhu padahal ia sudah berwudhu, maka inipun tentunya tidak dikatakan mengangkat hadats namun amalan ini disebut thaharah, karena hal tersebut semakna dengan thaharah. Contoh yang lainnya seseorang yang terkena penyakit kecing terus (kencingnya susah berhenti, biasanya menetes –pent-), jika ia berwudhu karena kencingnya lalu shalat, maka wudhunya ini semakna dengan mengangkat hadats, karena kencingnya masih kadang menetes (Asy Syarhul Mumti’ : 1/21 )
Lalu makna “hilangnya najis” adalah tidak adanya najis, baik hilang karena dibersihkan dengan sesuatu atau hilang dengan sendirinya.
Kedudukan Thaharah
Thaharah adalah kuncinya shalat dan syarat shalat yang paling urgen. Syarat itu lebih didahulukan daripada yang dipersyaratkan. Inilah alasan para ulama mendahulukan pembahasan thaharah dari pada pembahasan shalat. Padahal shalat adalah rukun islam yang kedua setelah syahadat, shalat menjadi tanda baiknya amalan seorang muslim. Pemisah antara Muslim dan Kafir. Tiang bagi agama Islam. Persoalan shalat disebutkan di beberapa tempat dalam al Qur’an. Namun karena shalat tidak akan tegak kecuali dengan thaharah, maka para ulama mendahulukan pembahasannya. Sehingga kita bisa mengetahui betapa besar dan agungnya kedudukan bersuci dalam Islam. Baik buruknya shalat kitapun tergantung dari baik buruknya bersuci kita. Sehingga dalam riwayat Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah dan lainnya di kisahkan bahwa nabi pernah menegur para sahabat yang tidak sempurna mencuci kakinya. Beliau bersabda :”celakalah tumit-timit yang tidak dicuci”. Ini karena sebagian sahabat ada yang tidak memperhatikan tumitnya ketika mencucu kaki.
Ini semua adalah sinyal dari beliau agar kita memperhatikan thaharah baik dari sudut pandang ilmu ataupun sudut pandang amalan. Semoga Allah memudahkan kita untuk memperbaiki thaharah kita.
Disusun oleh : Abu Ubaidillah al Atsariy –hafidzahullah-