Di bulan Ramadhan tahun ke 41 dari kelahiran Muhammad shallallahu alaihi wasallam ketika Muhammad sedang berada di Gua Hira beribadah dan berdzikir kepada Allah, tiba-tiba datanglah malaikat Jibril dengan untuk mengangkat beliau menjadi Nabi dan membawa wahyu. Mari kita baca kisah Aisyah radhiyallahu anha dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari sebagai berikut.
Dari Aisyah -Ibu Kaum Mu’minin-, bahwasanya dia berkata:
“Permulaaan wahyu yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dengan mimpi yang benar ketika tidur. Dan tidaklah Beliau bermimpi kecuali datang seperti cahaya subuh. Kemudian Beliau dianugerahi kesenangan untuk menyendiri, lalu Beliau memilih gua Hiro dan bertahannuts yaitu ‘ibadah di malam hari dalam beberapa waktu lamanya sebelum kemudian kembali kepada keluarganya guna mempersiapkan bekal untuk bertahannuts kembali. Kemudian Beliau menemui Khadijah mempersiapkan bekal. Sampai akhirnya datang Al Haq saat Beliau di gua Hiro, Malaikat datang seraya berkata: “Bacalah?” Beliau menjawab: “Aku tidak bisa baca”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan: Maka Malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi: “Bacalah!” Beliau menjawab: “Aku tidak bisa baca”. Maka Malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi: “Bacalah!”. Beliau menjawab: “Aku tidak bisa baca”. Malaikat itu memegangku kembali dan memelukku untuk ketiga kalinya dengan sangat kuat lalu melepaskanku, dan berkata lagi: (Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah).”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kembali kepada keluarganya dengan membawa kalimat wahyu tadi dalam keadaan gelisah. Beliau menemui Khadijah binti Khawailidh seraya berkata: “Selimuti aku, selimuti aku!”. Beliau pun diselimuti hingga hilang ketakutannya. Lalu Beliau menceritakan peristiwa yang terjadi kepada Khadijah: “Aku mengkhawatirkan diriku”. Maka Khadijah berkata: “Demi Allah, Allah tidak akan mencelakakanmu selamanya, karena engkau adalah orang yang menyambung silaturrahim.” Khadijah kemudian mengajak Beliau untuk bertemu dengan Waroqoh bin Naufal bin Asad bin Abdul ‘Uzza, putra paman Khadijah, yang beragama Nasrani di masa Jahiliyyah, dia juga menulis buku dalam bahasa Ibrani, juga menulis Kitab Injil dalam Bahasa Ibrani dengan izin Allah. Saat itu Waroqoh sudah tua dan matanya buta. Khadijah berkata: “Wahai putra pamanku, dengarkanlah apa yang akan disampaikan oleh putra saudaramu ini”. Waroqoh berkata: “Wahai putra saudaraku, apa yang sudah kamu alami”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menuturkan peristiwa yang dialaminya. Waroqoh berkata: “Ini adalah Namus, seperti yang pernah Allah turunkan kepada Musa. Duhai seandainya aku masih muda dan aku masih hidup saat kamu nanti diusir oleh kaummu”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Apakah aku akan diusir mereka?” Waroqoh menjawab: “Iya. Karena tidak ada satu orang pun yang datang dengan membawa seperti apa yang kamu bawa ini kecuali akan disakiti (dimusuhi). Seandainya aku ada saat kejadian itu, pasti aku akan menolongmu dengan sekemampuanku”. Waroqoh tidak mengalami peristiwa yang diyakininya tersebut karena lebih dahulu meninggal dunia pada masa fatroh (kekosongan) wahyu.
Demikianlah kisah turunnya wahyu yang pertama yang terjadi pada bulan Ramadhan pada malam Lailatul Qadr sebagaimana firman Allah ta’ala,
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan al Qur’an pada malam Lailatul Qadr” (QS. Al Qadr: 1)
Sebagian Faidah Dari Ulama
Menurut Syeikh Shafiyurrahman Al Mubarakfuri bahwa kejadian itu terjadi pada hari Senin sebelum shubuh sebagaimana disebutkan di beberapa hadits yang shahih. Dan Lailatul Qadr itu terjadi di setiap malam ganjil dari sepuluh terakhir di bulan Ramadhan. Hari Senin bulan Ramadhan di tahun tersebut adalah pada tanggal 21 tahun ke 41 dari kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wasallam yang bertepatan dengan tanggal 10 Agustus 610 Masehi. Umur beliau saat itu adalah 40 tahun 6 bulan 12 hari sesuai tahun Qamariyah. Sepadan dengan umur 39 tahun 3 bulan 21 hari sesuai tahun Samsiyah (Masehi) (lihat Raudhatul Anwar: 21)
Sumber:
- Raudhatul Anwar Karya Syeikh Shafiyurrahman Al Mubarakfuriy
- Shahih Bukhari