Shalat itu adalah ibadah yang ada aturan-aturannya. Tidak boleh seseorang membuat cara-cara tersendiri dalam shalat, tapi hendaklah kaum muslimin mencontoh tata cara shalat yang di tunjukkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam beberapa keterangan hadits. Shalat yang dilakukan tanpa contoh Rasulullah bisa mengantarkan kepada batalnya shalat. Termasuk dalam hal tuma’ninah atau ketenangan dalam melakukan gerakan shalat. Berikut hadits yang menerangkan tentang seseorang yang shalat namun Nabi memerintahkan orang tersebut untuk mengulang shalatnya yang menunjukkan shalatnya tidah sah.
Terjemah
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke masjid, kemudian ada seorang laki-laki masuk Masjid lalu shalat. Kemudian mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau menjawab dan berkata kepadanya, “Kembalilah dan ulangi shalatmu karena kamu belum shalat!” Maka orang itu mengulangi shalatnya seperti yang dilakukannya pertama tadi. Lalu datang menghadap kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan memberi salam. Namun Beliau kembali berkata: “Kembalilah dan ulangi shalatmu karena kamu belum shalat!” Beliau memerintahkan orang ini sampai tiga kali hingga akhirnya laki-laki tersebut berkata, “Demi Dzat yang mengutus anda dengan hak, aku tidak bisa melakukan yang lebih baik dari itu. Maka ajarkkanlah aku!” Beliau lantas berkata: “Jika kamu berdiri untuk shalat maka mulailah dengan takbir, lalu bacalah apa yang mudah buatmu dari Al Qur’an kemudian rukuklah sampai benar-benar rukuk dengan thuma’ninah (tenang), lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga kamu berdiri tegak, lalu sujudlah sampai hingga benar-benar thuma’ninah, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk hingga benar-benar duduk dengan thuma’ninah. Maka lakukanlah dengan cara seperti itu dalam seluruh shalat (rakaat) mu”. [HR. Bukhari (793), Muslim (397)]
Hadits Al Musi’u Shalatuhu
Hadits yang mulia ini disebut oleh para ulama dengan istilah Al Musi’u Shalatahu atau hadits orang yang salah dalam shalatnya. Hadits ini adalah patokan yang digunakan oleh para ulama terhadap perkara-perkara yang wajib dilakukan di dalam shalat dan perkara yang tidak wajib dilakukan di dalam shalat. Yaitu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan dan mengajarkan kepada orang yang meminta keterangan tentang amalan-amalan shalat yang wajib dilakukan. Sehingga sesuatu yang tidak disebutkan di dalam hadits ini dianggap tidak wajib sebagaimana akan dijelaskan setelah ini, Insya Allah.
Makna Hadits Secara Umum
Secara global hadits ini menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke masjid. Lalu masuklah seorang laki-laki dari kalangan sahabat yang namanya adalah Khalad Bin Rofi’ radhiyallahu ‘anhu. Sahabat ini shalat dengan shalat yang tidak sempurna. Baik dari sisi gerakannya atau bacaannya. Ketika dia telah selesai shalat, datanglah dia kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengucapkan salam kepada beliau. Nabi pun menjawab salam orang tersebut kemudian Nabi bersabda: “Kembalilah kamu ke tempatmu dan shalatlah karena sesungguhnya kamu belum shalat”. Orang itu kembali dan melakukan shalat yang kedua kalinya sebagaimana yang dia lakukan pada shalatnya yang pertama. Lalu dia datang lagi kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Nabi pun bersabda: “Kembalilah dan shalatlah karena sesungguhnya kamu belum shalat”.
Itu beliau ucapkan sebanyak 3 kali. Orang tersebut kemudian bersumpah dengan mengatakan “Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran saya tidak bisa melakukan shalat yang lebih bagus daripada apa yang sudah saya lakukan maka ajarkan lah tata tata cara shalat kepada saya”. Ketika orang tersebut sangat butuh kepada ilmu dan jiwanya sangat menginginkan hal tersebut serta hatinya siap menerima nasehat setelah ia melakukan shalat berulang-ulang, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: “Jika kamu berdiri untuk shalat, mulailah dengan takbir, lalu bacalah apa yang mudah buatmu dari Al Qur’an kemudian rukuklah sampai benar-benar rukuk dengan thuma’ninah (tenang), lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga kamu berdiri tegak, lalu sujudlah sampai hingga benar-benar thuma’ninah, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk hingga benar-benar duduk dengan thuma’ninah. Maka lakukanlah dengan cara seperti itu dalam seluruh shalat (rakaat) mu.”
Perselisihan Para Ulama
Mazhab Hanafi berpendapat sah shalat seseorang ketika membaca apapun dari Alquran walaupun dia hanya mampu membaca surah al-fatihah saja. Mereka berdalil dengan firman Allah,
” Maka bacalah apa yang mudah bagimu dari Alquran” [QS. Al Muzammil: 20]
Mereka juga menyebutkan salah satu riwayat hadits ini yang artinya “Bacalah apa yang mudah bagimu dari al-Quran”
Jumhur ulama berpendapat tidak sah shalat tanpa membaca surah al-Fatihah bagi orang yang mampu membacanya. Mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
“Tidak sah shalatnya seseorang yang tidak membaca surah al fatihah” [HR. Bukhari (756) dan Muslim (394)]
Maka di dalamnya terkandung makna tidak ada shalat. Kalimat “tidak ada” dalam syariat berarti tidak sah. Inilah asal bentuk peniadaan. Dalil-dalil tentang tidak sah nya shalat tanpa membaca surah al-fatiha itu banyak. Lalu bagaimana tentang ayat di atas yaitu Quran surah Al Muzzammil ayat 120 ? Mereka menjawab: “Ayat ini datang untuk menjelaskan bacaan Al Quran ketika shalat malam”.
Maksudnya bacalah oleh kalian apa yang mudah dari Alquran setelah membaca surah al-fatihah tanpa ada keberatan.
Ibnu Hammam mengatakan yang lebih utama hukumnya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan pemjelasan ini terhadap orang yang shalatnya keliru, maka ini berlaku untuk seluruh shalat.
Sebagian ulama berpendapat wajibnya membaca Al Fatihah pada rakaat pertama saja sedang jumhur ulama berpendapat wajib nya membaca al Fatihah di tiap-tiap rakaat. Ini ditunjukkan oleh sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
“Kemudian lakukanlah hal itu di setiap shalat”
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan: “Dalam hadits Abu Qotadah dalam riwayat Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca Al Fatihah di tiap-tiap rakaat bersamaan dengan itu ia bersabda:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 628, 7246 dan Muslim no. 1533)
Dan ini menunjukkan wajib.
Apakah Tuma’ninah Hukumnya Wajib ?
Kemudian para ulama berselisih pendapat tentang wajibnya tuma’ninah ketika i’tidal berdiri tegak setelah bangkit dari ruku dan sujud.
Hanafiah berpendapat tidak wajib sedangkan jumhur ulama berpendapat wajib dalil mereka adalah Hadits Shahih di atas dan hadits al Baro’ Bin Azib:
“Aku memperhatikan shalat bersama Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu aku mendapatkan berdirinya, rukuknya, i’tidalnya setelah rukuk, sujudnya, duduknya antara dua sujud, sujudnya, dan duduknya antara dua salam, dan keluarnya (dari shalat) semuanya adalah mendekati sama.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Mazhab hanafiyah tidak memiliki dalil atas pendapat mereka dan tidak ada bantahan yang benar dan shahih terhadap dalil-dalil jumhur ulama yang shahih dan jelas.
Faidah Hadits
- Shalat yang tidak dilakukan dengan tuma’ninah, maka shalatnya batal dan wajib dia mengulang sha
- Wajibnya mengucapkan Takbiratul Ihram dengan membaca Allahu Akbar. Karena Takbiratul Ihram adalah rukun dalam shalat shalat dimana shalat tidak dianggap tanpa Takbiratul Ihram.
- Wajibnya membaca apa yang mudah dari surah Al Quran terkhusus surah Al Fatihah, dimana tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca surah al Fatihah.
- Wajibnya ruku dan bangkit dari ruku serta sujud dua kali dan duduk diantara dua sujud. Ini semua adalah rukun dan tidak sah shalat tanpa melaksanakan rukun-rukun ini.
- Wajibnya tuma’ninah ( tenang dalam shalat) dalam melaksanakan rukun-rukun ini dan shalat tidak dianggap tanpa tuma’ninah.
- Wajibnya tertib di dalam shalat yaitu rukun-rukun tersebut dilaksanakan secara berurut dan tidak boleh tidak berurut. Jika tidak berurut, maka shalatnya tidak sah.
- Rukun-rukun ini, juga dilakukan pada rakaat yang kedua. Kecuali Takbiratul Ihram karena Takbiratul Ihram cuma dilakukan pada rakaat yang pertama.
- Indahnya akhlak dan hikmah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam metode pengajaran.
- Disyariatkannya mengulang salam bagi orang yang meninggalkan majelis kemudian kembali lagi ke majelis tersebut.
- Disyariatkannya menjawab salam dan mengulangi jawaban salam jika salam diucapkan beberapa kali.
Rujukan
- Shahih Bukhari
- Shahih Muslim
- Taisirul Allam Syarh Umdatil Ahkam
- Syarah Umdatil Ahkam Lisy Syaikh Utsaimin
Selesai rangkuman ini di ruang kerja pada penghujung malam 28 Muharram 1438 H – 29 November 2016. [Abu Ubaidillah Bambang al Atsariy]