( Seri Sejarah Rasulullah bagian ke 8 )
Setelah berlalu kegiatan dagang Nabi shallallahu alaihi wasallam yang menjual barang-barang milik Khodijah, maka Khodijah melihat pada diri Nabi shallallahu alaihi wasallam ada amanah dan berkah yang mengagumkan hati. Maisaroh mengisahkan kepada Khodijah tentang Nabi shallallahu alaihi wasallam yang memiliki kemuliaan kepribadian, bersih dari aib. Disebutkan juga bahwa ada beberapa kejadian-kejadian yang luar biasa terjadi pada Nabi. Seperti naungan dua malaikat dikala teriknya matahari.
Pucuk Dicinta Ulampun Tiba
Khodijah merasakan bahwa apa yang selama ini dia impikan telah ada dindepan mata. Ia pun mengutus salah seorang teman perempuannya untuk menyampaikan hasratnnya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk menikah dengan beliau.
Nabi pun menyambut harapan tersebut, lalu Nabi berbicara kepada paman-paman nya menyampaikan apa yang diinginkan Khadijah. Kemudian mereka datang melamar Khodijah untuk Rosulullah shallallahu alaihi wasallam kepada paman Khadijah yang bernama Amr bin Asad.
Berlangsungnya Perjamuan
Lalu paman Khodijah menikahkan Khodijah dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam yang dihadiri oleh keluarga besar Bani Hasyim dan tokoh-tokoh Quraisy dengan mahar sekitar 20 ekor unta muda. Ada juga yang mengatakan 6 ekor.
Yang memberikan khutbah pernikahan pada saat itu adalah paman Rasulullah Abu Thalib. Dia memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian menyebutkan kemuliaan nasab dan keutamaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian menyebutkan kalimat akad dan menjelaskan maharnya.
Pernikahan ini terjadi setelah pulangnya Nabi shallallahu alaihi wasallam dari negeri Syam. Kira-kira 2 bulan dan beberapa hari setelah itu.
Umur Nabi Dan Khadijah
Ketika itu umur Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah 25 tahun. Adapun umur Khadijah dari riwayat yang paling mashur adalah 40 tahun. Ada pula ahli sejarah yang mengatakan umur Khodijah saat itu 28 tahun dan ada juga yang mengatakan dengan pendapat yang lain.
Dulu Khodijah pernah menikah dengan seorang yang bernama ‘Atiq bin ‘Aidz al Makhzumi. Suami pertama pun meninggal dunia meninggalkan Khodijah. Setelah itu Abu Halah at Taimi menikahi Khodijah. Dia pun meninggal dengan meninggalkan seorang anak laki-laki. Setelah itu tokoh-tokoh Quraisy berkeinginan untuk menikahi Khodijah, namun Khodijah enggan menerima tawaran mereka dan lebih memilih sendiri, hingga Khodijah menyimpan hati kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan menikah dengan beliau.
Berbahagia lah Khodijah bersama Rasulullah dengan sebuah kebahagiaan yang membuat orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan mendambakan dan mencemburui nya.
Inilah awal pertama kali pernikahan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Beliau tidak pernah menikah selain dengan Khodijah hingga wafatnya Khodijah. Seluruh anak-anak Rasulullah dilahirkan oleh Khodijah, kecuali Ibrahim yang dilahirkan oleh Mariah al-Qibthiyah.
(Raidharul Anwar Fii Siratin Nabiyil Mukhtar: 15-16)
Pelajaran Kisah
Kisah ini memberikan banyak pelajaran kepada kita diantaranya bahwa sebuah pernikahan tidak harus seseorang memilliki umur yang berdekatan dengan pasangannya. Bisa saja kebahagiaan dicapai walaupun umur antara suami dan istri terpaut jauh.
Kebahagiaan Khodijah didapatkan karena keikhlasan beliau di dalam menikahi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, demikian pula keikhlasan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam.
Keikhlasan menjadi tonggak utama tercapainya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
Pernikahan yang tidak didasari dengan keikhlasan akan berujung kepada prahara dan kehancuran. Karena jika seseorang tidak mendapatkan apa yang diinginkan, maka tentunya dia akan kecewa sehingga kebahagiaan tidak tercapai.
Keikhlasan memunculkan perasaan menerima pasangan apa adanya, melengkapi kekurangan pasangan, dan melihat kebaikan-kebaikan mereka melebihi kekurangan mereka.
Selain itu kebahagiaan Khodijah disebabkan dekatnya beliau kepada Rasulullah. Kedekatan kepada Nabi akan memunculkan kebahagiaan dan barokah, sebagaimana juga yang dialami oleh ibu susuan Rasulullah dan keluarganya yaitu keluarga Bani Sa’ad ketika mereka memelihara Nabi shallallahu alaihi wasallam. Kedekatan mereka dengan Rasulullah memunculkan kebahagiaan dan barokah. Maka siapa yang menginginkan kebahagiaan dan barokah hendaklah mendekati Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan, mendekati sunnahnya, mencintai, mempelajari dan mengamalkan sunnah-sunnahnya, nasehat-nasehat nya, serta meninggalkan larangan dan peringatan nya.
Di sini boleh juga kita mengatakan bahwa kebahagiaan Khodijah terletak pada ketaatannya kepada Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Ketaatan Khodijah bisa dilihat dari dua sisi. Sisi pertama adalah dari sedut pandang ketaatan beliau kepada suami beliau yaitu Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutholib. Ketaatan istri kepada suami adalah puncak kebahagiaan dan ketentraman di dalam keluarga. Istri yang mentaati suaminya akan mendatangkan suasana yang indah di dalam keluarga sakinah. Sebaliknya istri yang membangkang kepada suami yang tidak mentaatinya dalam perkara kebaikan akan menimbulkan kegoncangan dan saling tidak percaya di dalam keluarga.
Sisi kedua dari ketaatan Khodijah kepada Muhammad shallallahu alaihi wasallam dari sudut pandang ketaatan kepada seorang Rasul utusan Allah. Kebahagiaan dan ketentraman akan terwujud ketika seseorang mentaati sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah-:
“Kebahagiaan dan petunjuk akan terwujud ketika seseorang mengikuti Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dan kesesatan serta kesengsaraan terjadi ketika seseorang menyelisihi Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- [Majmu al Fatawa: 19/93]
Inilah kunci-kunci kebahagiaan Khodijah bersama Rasulullah dalam bingkaian keluarga sakinah, dibawah ridho Ilahi. Kebahagiaan yang tidak pernah pupus di dunia, di alam barzah, dan di akhirat. Kebahagiaan yang dicemburui oleh semua orang yang dulu maupun yang sekarang.
W a l l a h u a ‘ l a m
_____________
Selesai pertengahan siang di Bontomarannu, Kabupaten Gowa pada 18 Shafar 1438 atau 18 November 2016 | Abu Ubaidillah Bambang al Atsariy